Menyelamatkan Bentang Alam Berhutan Utuh Yang Tersisa

Menyelamatkan  Bentang Alam Berhutan Utuh Yang Tersisa

Indonesia - 18 January, 2016

Intact forest landscape/IFL (bentang alam berhutan utuh) menurut World Resources Institute adalah kawasan tutupan hutan global saat ini yang terdiri atas ekosistem hutan dan non-hutan dengan luas minimal 500 km2 (50,000 ha) dan lebar minimal (yang diukur dari diameter lingkaran batas kawasan) sepanjang 10 km. Kawasan ini sedikit sekali dipengaruhi oleh kegiatan manusia.

IFL penting sebagai habitat keragaman flora dan fauna, tempat tinggal dan sumber mata pencaharian masyarakat adat dan tempatan, serta memiliki fungsi hidrologis untuk mempertahankan (retain) dan mengatur ketersediaan sumber daya air di sepanjang musim. Secara hidrologis, IFL dapat diibaratkan sebagai karet busa raksasa yang mampu menyerap air hujan dan mempertahankan aliran sungai sepanjang musim kemarau.

Mengingat bahwa air adalah kebutuhan dasar bagi manusia dan menyadari pentingnya IFL bagi ketersediaan sumber daya air, kampanye penyadaran perlindungan IFL sebagai penjamin ketersediaan sumber daya air perlu melibatkan penentu kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat. Isu pelestarian sumber daya air yang sangat bergantung pada kelestarian IFL sangat berpotensi untuk menjadi topik negosiasi iklim dunia yang saat ini hanya didominasi oleh gas rumah kaca.

Pentingnya IFL telah membuat Forest Stewardship Council (FSC), sebuah badan internasional yang mempromosikan pengelolaan hutan dunia secara bertanggung jawab, telah memasukkan perlindungan IFL dalam sertifikasi dan pelabelan hasil hutan sejak 11 September 2014.

Singkatnya, IFL penting untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, modal sosial dan proses ekologi penting dari puncak gunung hingga terumbu karang, dari ekosistem daratan hingga lautan, dari landscape hingga seascape.

Ind_05_0285.jpg

Sayangnya, Indonesia telah kehilangan sebagian besar hutannya. Selain Papua, IFL hanya tersisa di kawasan terpencil yang sulit dijangkau, sehingga tidak sesuai bagi kegiatan perekonomian. Nampaknya hanya kondisi alam yang sulit dijangkau saja yang mampu secara efektif melindungi IFL terhadap tekanan manusia yang tidak terbatas.

Masalahnya adalah rendahnya penilaian ekonomi terhadap jasa lingkungan ekosistem hutan. Telah banyak diketahui bahwa ekosistem hutan alam menyediakan beragam produk dan jasa lingkungan, namun sebagian besar izin pemanfaatan hutan oleh pemerintah hanya didominasi oleh pemanfaatan kayu saja. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan terbatas pada pengaturan dan perizinan, tidak aneh jika sumberdaya hutan lebih dilihat dari status peruntukannya daripada manfaat ekosistemnya bagi kehidupan secara nyata.

Negara juga telah gagal mengawasi kinerja pemegang konsesi hutan alam (HPH/IUPHHK-HA). Sesuai aturan, pemegang HPH hanya diizinkan memanen pertumbuhan kayu/riap (increment/growth) yang dihasilkan oleh hutan alam, dengan menjamin ekosistem hutan sebagai ‘pabrik kayu’ yang diharapkan tetap utuh pada masa akhir konsesi. Yang banyak terjadi bukan riapnya yang diambil melainkan pabrik kayunya. Tidak aneh, jika ekosistem hutan sebagai pabrik kayu telah ludes bahkan jauh sebelum masa konsesi berakhir.

Dampaknya, sebagian besar hutan alam yang dikelola HPH tidak lestari, sehingga IFL saat ini kemungkinan besar hanya bisa ditemukan di Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK). HL sebelumnya dikelola oleh pemerintah kabupaten, dimana melalui Undang-undang No.23/2014, kewenangannya beralih ke Pemerintah Provinsi. Sayangnya, pemerintah kabupaten kebanyakan menggunakan HL sebagai sapi perah kepentingan politis.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh London School of Economics berjudul “Ekonomi Politik Deforestasi di Wilayah Tropis” menunjukkan, desentralisasi dan pemekaran kabupaten di sejumlah provinsi yang kaya hutan telah memicu meningkatnya deforestasi. Analisis citra satelit membuktikan, penebangan liar di hutan lindung secara dramatis meningkat dua tahun menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada).

HK yang langsung dikelola oleh pemerintah pusat melalui unit pelaksana teknis di daerah kondisinya tidak lebih baik. Wilayah ini sebagaian besar menjadi sasaran penebangan liar dan perambahan oleh ekspansi kebun sawit dan infrastruktur (jalan). Perambahan seringkali berkelindan dengan masalah-masalah lain seperti penebangan liar dan perburuan. Masalahnya menjadi rumit seiring dengan menguatnya tekanan politik untuk memanfaatakan sumber daya di dalam kawasan HK.

vanderploeg2005 199 Gunung Lumut protection forest in Mului.jpg


Mempertimbangkan berbagai hal di atas, apa langkah ke depan untuk menyelamatkan sisa IFL di negeri ini?

Pertama, peran pemerintah harus beralih dari rezim pengaturan dan perizinan menjadi agen pemberi bantuan teknis dan pengawasan intensif praktik pengelolaan hutan di lapangan. Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator dan perantara yang jujur bagi aktor dan pemangku kepentingan kehutanan. Untuk itu, semangat pemerintah yang kuat untuk membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang ditunjukkan Bappenas dengan jargon “No KPH No Money” harus dapat direalisasikan. Sayangnya, meski inisiasi KPH telah dimulai hampir 10 tahun lalu, lembaga ini praktis belum berbuat banyak. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah hambatan struktural yang berakar dari kekakuan sistem dan birokrasi pemerintahan. Pemerintah harus mampu menciptakan ’enabling condition’ bagi berperannya KPH secara nyata di lapangan.

Kedua, pemerintah perlu segera memetakan IFL yang tersisa dan menetapkannya sebagai ekosistem esensial sebagai kawasan konservasi yang dilindungidari praktik pemanfaatan sumber daya alam yang tidak lestari. Terminologi IFL dan upaya perlindungannya perlu dimasukkan dalam revisi Undang-undang No.5/1990 tentang Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2016.

Ketiga, pemerintah harus mengembangkan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif bagi pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat.

Wacana Kabupaten Konservasi yang berkembang pada awal tahun 2000 layak untuk ditinjau kembali. Perlindungan High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) di kawasan produksi oleh sektor swasta (perkebunan kelapa sawit, HPH dan HTI) harus diapresiasi dan pelaksanaannya di lapangan harus dimonitor pemerintah. Masyarakat adat dan tempatan yang memanfaatkan kawasan hutan dalam Program Perhutanan Sosial harus diberdayakan agar mampu mengelola sumberdaya lahan secara lestari yang kondusif bagi kelestarian IFL yang tersisa.

Saatnya bagi pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan hutan untuk bersinergi merumuskan kebijakan, sasaran dan pencapaian secara terukur dan realistis untuk menyelamatkan bentang alam hutan utuh yang tersisa, sebelum fungsi ekologisnya tak terpulihkan!