Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#13 Belajar dari Bencana

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#13 Belajar dari Bencana

Indonesia - 02 February, 2021

Apa yang bisa kita pelajari dari bencana? Ternyata banyak. Setidaknya, itulah yang terlihat dari acara webinar Tropenbos Indonesia seri ke-13 “Mengelola Yang Tersisa” yang kali ini bertajuk “Belajar dari Bencana”. Acara ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Een Irawan Putra, Direktur Eksekutif Rekam Nusantara Foundation yang juga merupakan Staf Khusus Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia, dan Dosen FEMA (Fakultas Ekologi Manusia) IPB yang juga pakar Ekologi Politik Bencana, Soeryo Adiwibowo. Lebih dari 200 peserta mengikuti acara webinar yang diselenggarakan pada Sabtu 29 Januari 2021 ini.

Meski tak diharapkan, bencana kerap tak terelakkan. Menurut data BNPB yang disajikan oleh Staf Khusus Kepala BNPB, Een Irawan Putra, sepanjang 2020 saja bencana yang terjadi di Indonesia mencapai 2.939 peristiwa dengan bencana terbanyak berupa bencana hidrometeorologi seperti banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor yang juga terjadi di kawasan hutan. Selain itu masih ada pula kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menurut Een 99% disebabkan oleh ulah manusia, terbukti dari 80% lahan yang terbakar itu kemudian berubah menjadi kebun. Ada pula ulah manusia yang menyebabkan bencana non-alam seperti limbah merkuri dan yang disinyalir juga merupakan akibat kelalaian manusia seperti covid-19.

Menurut Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, intensitas hujan yang terlalu tinggi dapat melampaui kapasitas hutan menahan laju aliran permukaan air (water retention capacity). Karena itu, pada titik tertentu besarnya aliran permukaan akan sama antara wilayah berhutan dan tidak berhutan. “Hutan hanya mampu mengendalikan banjir yang ditimbulkan oleh hujan intensitas rendah dan sedang atau kurang dari 100 mm per hari,” kata Edi. Itu pula yang mengakibatkan DAS dengan hutan yang baik pun tidak luput dari banjir bahkan sejak zaman dahulu. Apalagi dengan adanya pemicu faktor antropogenik seperti pembalakan liar/penambangan ilegal, karhutbunla, pembangunan infrastruktur dan pengeringan rawa gambut yang juga disertai perubahan iklim, semakin memperbesar pula risiko terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir.

Memperhatikan ancaman dari curah hujan ekstrem dan kemarau panjang tersebut, menurut Edi, hikmah yang dapat diambil adalah perlunya meningkatkan kehati-hatian dan menjadi lebih bijaksana dalam pengelolaan sumber daya alam. Meski bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, atau letusan gunung api merupakan bencana yang tak terelakkan, sebetulnya bencana hidrometeorologi yang merupakan pengabaian risiko lingkungan seperti karhutbunla, banjir, banjir bandang, longsor dan kekeringan, masih dapat dikontrol dengan melakukan upaya pencegahan.

Sayangnya, desa sering tidak berdaya mencegah perubahan yang terjadi. Edi mencontohkan perubahan yang terjadi di kawasan hidrologi gambut diantara Sungai Pawan dan Sungai Kepulu di Ketapang, Kalimantan Barat. Berdasarkan analisis peta kawasan oleh Tropenbos Indonesia, pada tahun 2000 hutan rawa gambut di kawasan ini masih utuh, namun pada 2006 lahan terbuka semakin luas dan terlihat mulai adanya kegiatan pertambangan emas tanpa izin (PETI). Pada 2012 sudah terlihat adanya kebun sawit besar di rawa gambut dan semakin luasnya hutan rawa gambut yang rusak oleh kegiatan PETI, dan pada 2018 kebun sawit besar ini semakin tampak meluas dan terlihat pula bekas PETI terbakar sehingga menjadi lahan terbuka.

Untuk itu, menurut Edi, pelaksanaan kewenangan desa sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No.6/2014 perlu lebih ditegakkan. Sejumlah masalah desa dapat berimplikasi terhadap kerentanan bencana. Desa yang belum memiliki legalitas batas desa, contohnya, dapat berimplikasi terhadap kerancuan kewenangan pengelolaan sumber daya alam, pengabaian risiko terhadap pengelolaan sumber daya alam, dan bila terjadi bencana dapat menyebabkan ketidakjelasan pihak yang harus bertanggung jawab dalam pengendalian, pencegahan, maupun penanganan bencana. Menurut data KLHK, sampai saat ini baru 34,7% dari 72.000 desa di Indonesia yang telah memiliki tata batas dan bahkan sekitar 13.000 desa masih berstatus konflik.

Masalah lain yang kerap membelit desa adalah tidak berdayanya desa untuk memanfaatkan kewenangan pengelolaan sumber daya alamnya sendiri karena terkooptasi oleh kewenangan yang lebih tinggi. Perizinan pemanfaatan sumber daya alam desa masih menjadi kewenangan kabupaten dan provinsi. Banyak kasus eksploitasi sumber daya alam desa seperti pertambangan dan perkebunan berada diluar kontrol masyarakat setempat dan pemerintah desa tidak punya nyali untuk menunjukkan kewenangan atas desanya sebagaimana yang diamanatkan UU No.6/2014. “Kewenangan desa dikalahkan oleh UU SDA lex-specialist seperti Kehutanan, Perkebunan, Minerba, atau Kelautan,” kata Edi. Dengan kata lain, kelestarian sumber daya alam desa berada diluar kontrol desa.

Di sisi lain, menurut Edi, desa sendiri belum menjadikan pengelolaan sumber daya alam sebagai prioritas. Terbukti, dana desa yang per tahun dapat mencapai 1 miliar rupiah dan sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sumber daya alam faktanya masih lebih fokus digunakan untuk pembangunan sarana fisik dan sosial ketimbang memperhatikan pengelolaan lingkungan. Akibatnya, pencegahan terhadap bencana risiko lingkungan juga belum dilakukan. Untuk itu menurutnya, desa perlu meningkatkan ketangguhannya dalam menghadapi bencana. Selain itu, Edi memberikan beberapa rekomendasi lagi seperti perlunya Rekam Bencana sebagai memori kolektif agar sebagai bangsa tidak abai terhadap risiko lingkungan, Supra Desa harus sigap dalam memberikan peringatan dini bencana hidrometeorologi, dan perlunya instrumentasi peralatan hidrometeorologi secara telemetri di seluruh wilayah Indonesia untuk memprediksi dan menginformasikan kerentanan bencana.

Sementara itu, pakar Ekologi Politik Bencana, Soeryo Adiwibowo sepakat, bencana lingkungan terjadi akibat ulah manusia (hidrometri). Tepatnya, akibat keputusan politik (fokusnya ekonomi politik) yang didukung oleh berbagai aktor mulai dari tingkat desa (masyarakat yang menambang emas atau membuka hutan), hingga aktor di tingkat kabupaten, nasional, bahkan global. Kebakaran hutan, misalnya, banyak bukti mengarah pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang berskala besar yang berkedudukan di luar negeri.

Menurut Soeryo, bencana hidrometeorologi perlu dilihat melalui pendekatan ekonomi politik. Masalah yang terkait bencana hidrometeorologi, kedaulatan pangan, atau ketahanan pangan, itu tidak akan lepas dari kepentingan ekonomi politik global dan lokal. Oleh karena itu menurutnya, di peradaban modern ini nyaris tidak ada lanskap yang independen dari tangan manusia. Bahkan kawasan konservasi, misalnya taman nasional, suaka marga satwa atau taman hutan raya merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat. “Perubahan ekologi di zaman modern ini banyak diwarnai oleh keputusan-keputusan ekonomi politik,” katanya.

Banjir besar di Kalimantan contohnya, mungkin benar karena curah hujan yang tinggi, tetapi menurut Soeryo pasti ada faktor lain yang ikut serta yang mengamplifikasi persoalan, misalnya penambangan emas atau batubara di hulu. Bencana karhutla dan asap di lima provinsi di Indonesia pun terjadi akibat konversi hutan atau rawa gambut, atau perluasan kebun sawit skala besar, begitu pula dengan pertambangan emas tanpa izin. “Bencana hidrometri ini sering menyebabkan ketidakadilan lingkungan terhadap golongan masyarakat yang rentan seperti petani gurem, kaum miskin, di desa maupun di kota. Mereka tidak bisa menghindar,” katanya. Tipologinya nyaris sama, di belakangnya ada kepentingan tertentu yang mem-back-up situasi ini terus berjalan dan yang sulit diberantas. “Mampukah para warga desa menolak masuknya tambang misalnya, yang didukung oleh aktor supra desa?” lanjutnya.

Soeryo menjelaskan, menurut anatomi sederhana ekologi politik bencana hidrometeorologi, pangkal atau hulu penyebab bencana hidrometeorologi diantaranya adalah lemahnya penegakan hukum dalam memberantas berbagai praktik eksploitasi sumber daya illegal dan pemanfaatan ruang. Saat terjadi bencana, bila dilihat ke hulu dan terlihat ada perubahan di lanskap, pasti ada relasi kuasa yang terjadi antar aktor setempat dimana aktor yang kuat kemudian mempengaruhi terjadinya perubahan di lanskap tersebut sehingga menjadi rentan terhadap bencana.

Materi presentasi bisa di download disini

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: