Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #2 Tambang dan Banjir Bandang?

Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #2 Tambang dan Banjir Bandang?

Indonesia - 16 February, 2021

Tambang memang merupakan isu yang sensitif dan kerap mendatangkan pro-kontra, dianggap positif karena berkontribusi terhadap perekonomian, dianggap negatif karena menyebabkan kerusakan lingkungan, meski kalangan tambang kini telah berupaya melakukan pengelolaan yang lebih baik dan meningkatkan kinerja mereka. “Jangan sampai (kawasan) bekas tambang menimbulkan kota-kota tua yang rusak. Jangan sampai kutukan sumber daya menimpa anak cucu kita,” kata Harry Santoso, anggota Dewan Pembina PP IAPWD IPB yang juga Pengurus Pusat MKTI (Masyarakat Konservasi Tanah dan Air) dalam acara webinar bertajuk “Tambang dan Banjir Bandang?” pada 13 February 2021 lalu.

Sebagai negara yang berada di cincin api Pasifik di mana sabuk gunung api berimpit dengan sabuk kegempaan, di pertalian kedua sabuk inilah terkandung sumber daya mineral, biji besi, migas, batu bara dan kekayaan tambang lainnya yang luar biasa yang menyebabkan Indonesia menjadi kaya akan tambang. Menurut Harry, setidaknya ada 10 isu yang kini dihadapi pertambangan dan pembangunan wilayah, yaitu isu mengenai pembangunan berkelanjutan, tumpang tindih lahan, pertambangan tanpa izin (PETI) dan tambang rakyat, perizinan berlebihan, rehabilitasi/reklamasi pasca tambang, keterlanjuran, banjir dan tanah longsor, tata ruang wilayah, pengembangan masyarakat, dan pembangunan wilayah pasca tambang.

Bicara tentang banjir, menurut Harry, penyebabnya dapat berasal dari faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yaitu faktor alam seperti iklim dan bentang lahan Daerah Aliran Sungai/DAS seperti kondisi geomorfologi, fisiografi, morfometri, dan hidrologi. “Curah hujan lebih dari 100 mm/hari saja bila berlangsung lebih dari dua hari berturut-turut akan menyebabkan banjir, tentu dengan catatan drainase kurang baik, infiltrasi tanah kurang baik, dan sebagainya,” katanya. Sedangkan faktor internal berasal dari kegiatan manusia. Ia mencontohkan adanya perizinan usaha yang tidak mengindahkan kemampuan daya dukung wilayah/daya tampung lingkungan, atau kegiatan penambangan yang tidak berwawasan lingkungan, tanpa reklamasi pasca tambang, rehabilitasi DAS (Daerah Aliran Sungai), dan konservasi tanah dan air, atau kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) dan pertambangan rakyat yang tidak terkendali. “Faktor internal ini sebenarnya tugas kita untuk mengendalikan,” katanya.

Setelah penambangan selesai, kawasan bekas tambang akan mengalami kerusakan lingkungan yang parah. Bila langsung ditinggalkan dapat dibayangkan betapa luar biasa dampaknya yang sangat merugikan. Untuk itu perbaikan harus dilakukan. Harry menunjukkan sejumlah keberhasilan perbaikan lahan pasca tambang di Bangka Belitung di mana kawasan bekas tambang timah tersebut kini menjadi sawah, menjadi pembangkit listrik tenaga surya, budidaya porang, dan tempat budidaya ikan kakap dan kerapu putih.

Menurut Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Lana Saria, sebetulnya Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah regulasi sebagai panduan bagi kegiatan pertambangan berizin untuk melakukan kegiatan pertambangan dengan menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik. Salah satunya adalah pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk restorasi dan reklamasi lahan pasca tambang. Di dalam UU No.3/2020 yang merupakan perubahan dari UU No.4/2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara, terdapat peraturan yang lebih ketat dimana sanksi pidana dapat dikenakan bila pemegang izin usaha pertambangan tidak melaksanakan reklamasi pasca tambang hingga mencapai kriteria 100%. Namun karena turunan UU ini belum terbit, yang masih digunakan adalah PP No.78 tahun 2010 yang menyatakan, pemegang IUP wajib melaksanakan reklamasi dan pasca tambang sesuai rencana reklamasi dan rencana pasca tambang sampai memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi yang ditetapkan didalam peraturan tersebut.

Reklamasi juga diatur didalam Keputusan Menteri ESDM No.1827/2018 lampiran VI yang menyebutkan bahwa pelaksanaan reklamasi untuk IUP Operasi dilakukan sesuai dengan rencana dalam dokumen Rencana Reklamasi dan sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan direklamasi. “Artinya, rencana reklamasi harus melalui suatu proses evaluasi apakah rencana tersebut akan sesuai dengan bukaan lahannya, kemajuan tambangnya, jenis yang akan ditanam, kualitas tanahnya, dan sebagainya. Juga apakah reklamasi tersebut akan menjadi bentuk revegetasi, area pemukiman, pariwisata, sumber air, atau area budidaya,” kata Lana. Selain itu, prinsip kegiatan reklamasi dan pasca tambang yang tak kalah penting adalah pengelolan air tambang yang meliputi limpasan permukaan dan limbah, khususnya pengendalian erosi dan sedimentasi pada lahan reklamasi.

Tahapan pelaksanaan reklamasi, menurut Lana, mengikuti kegiatan penambangan, yaitu mulai dari pengajuan rencana reklamasi pada saat eksplorasi, lalu rencana pemulihan pada tahap operasi produksi. Setelah itu, dalam program pemulihan pasca tambang, lahan bekas tambang tersebut kemudian diubah peruntukannya sesuai dengan rencana yang diajukan oleh perusahaan dan telah didiskusikan dengan para pemangku kepentingan terkait dan dituangkan dalam rencana reklamasi pasca tambang. “Jadi, bila dilihat didalam UU No.3/2020, reklamasi memang merupakan kegiatan yang sangat kompleks,” kata Lana. Kegiatan reklamasi dilaksanakan sepanjang tahapan usaha pertambangan, baik mulai dari ekplorasi, operasi produksi, sampai pasca tambang, yaitu dengan kegiatan menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan agar ekosistemnya dapat berfungsi kembali. Penataan lahan ini dilengkapi dengan pengelolaan air, dan bila bentuk reklamasi lahan tersebut yang disetujui adalah untuk direvegetasi maka kemudian dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan kualitas tanahnya, dimulai dengan tanaman yang cepat tumbuh, baru disisipkan dengan tanaman lokal, sebelum akhirnya harus memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi sesuai dengan kepmen ESDM No.1827/2018 lampiran VI. Bila keberhasilan reklamasi oleh perusahaan belum memenuhi 100%, jaminan reklamasi belum dapat dikembalikan kepada perusahaan.

Lana menegaskan, pada kasus reklamasi dimana lahan bekas tambang berupa void, air yang ditampung dalam lubang bekas tambang harus dapat memiliki manfaat. Ia mencontohkan reklamasi void di PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur di mana void dimanfaatkan sebagai sumber air minum untuk masyarakat sekitar, sebagai kawasan wisata, dan sebagai kawasan untuk olahraga dayung. Demikian pula reklamasi void di PT Timah Tbk di Bangka Belitung dimana void bekas tambang diubah menjadi kawasan agro-wisata Kampoeng Reklamasi Air Jangkang. Satu contoh lagi adalah reklamasi di lahan bekas tambang PT Newmont Minahasa di Sulawesi Utara di mana tambang tersebut berada di kawasan hutan yang dibuka untuk tambang selama 5 tahun dan proses reklamasinya berlangsung selama 10 tahun. Di sekitar lubang bekas tambang dilakukan revegetasi hingga kembali berhutan, dan air yang ada di bekas lubang tambang dimonitor kualitasnya sesuai baku mutu yang telah ditetapkan oleh KLHK.

Beberapa perusahaan bahkan bisa meningkatkan status dan fungsi kawasan hutan di areal bekas tambangnya seperti PT BHP Kendilo Coal Indonesia di Paser, Kalimantan Timur, yang semula adalah Hutan Produksi menjadi Taman Hutan Raya. Kawasan seluas 3.445,37 ha itu resmi menjadi Tahura dengan SK Menhut No.4335/2015. Kemudian ada pula PT Equatorial Mining yang saat ini sudah selesai reklamasinya dan sudah dinilai oleh KLHK dari semula Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung. “Ini tentu bukan hal mudah dan perlu usaha luar biasa hingga mendapatkan SK Menhut No.554/2013 menjadi Hutan Lindung seluas 6750 ha,” kata Lana. Lalu PT Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang mendapat status dari kawasan Hutan Produksi Terbatas menjadi Kebun Raya seluas 221 ha sesuai dengan SK Menhut No.175/2014.

Sementara itu, menurut Irdika Mansur, Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB yang juga Pengurus Pusat MKTI sebetulnya Indonesia saat ini sudah berada bukan lagi berada pada tahap reklamasi, namun tahap pemanfaatan, karena dari segi aturan dan teknologi sebetulnya sudah lebih dari cukup meski penegakan hukum dan pengawasan tetap diperlukan. Ia mengakui, saat kegiatan pertambangan berlangsung tidak ada yang dapat dilakukan pada kawasan yang terbuka itu, namun setelah kegiatan penambangan selesai, saat itulah kondisi kerusakan yang terjadi perlu dilihat sebagai potensi. Ia mengibaratkan hal itu seperti mengambil santan dari kelapa yang tidak mungkin bisa diperoleh tanpa memecah kelapanya. Namun setelah kelapa dipecah, kulitnya atau cangkangnya bisa saja menjadi limbah, atau justru menjadi sesuatu yang lebih berharga. Ia menunjukkan sebuah tas tangan wanita dari batok kelapa yang harganya telah menjadi berlipat dari harga kelapa semula. “Pada saat izin penambangan diberikan, seharusnya sudah dipikirkan sesudahnya akan menjadi apa yang lebih (baik) dibandingkan sebelum ditambang,” katanya. Ini juga sudah ada didalam peraturan perundangan dimana perusahaan wajib menyerahkan dokumen kalau kegiatan penambangannya selesai, lahan tambang dan masyarakat di sekitarnya nanti akan menjadi apa.

Dari sisi konservasi tanah dan air, menurut Irdika, sebelum kegiatan tambang dimulai dan membuka vegetasi, sudah dibuat peta hidrologi, saluran-saluran drainase, sehingga saat lahan dibuka, air limpasan akan masuk ke saluran drainase tadi menuju kolam pemerangkapan untuk sedimen (sediment pond) sehingga sedimen tidak keluar dari areal tambang. “Sebagai peneliti, saya kagum praktik ini hanya ada di tambang, di usaha-usaha lain yang pembukaan lahannya jauh lebih luas, tidak ada kewajiban membuat sediment pond misalnya, sehingga semua air limpasan yang membawa sedimen langsung masuk ke sungai," katanya. Begitu pula saat membuka lahan, tanah yang digali ditumpuk dulu untuk digunakan kembali nantinya setelah kegiatan penambangan selesai karena jika tidak, kegiatan reklamasi yang harus dilakukan bisa menjadi sangat mahal.

Irdika mengakui, operasi tambang memang mahal, begitu pula untuk pengelolaan lingkungannya. Oleh karena itu, menurutnya, tidak sembarang perusahaan dapat melakukan usaha penambangan karena biaya lingkungan ini sudah dihitung saat melakukan feasibility study. Kalau sampai ada tambang-tambang tanpa izin, dan tidak melakukan kegiatan reklamasi yang seharusnya dilakukan, masyarakat sekitarlah yang akan harus terpaksa menanggung biaya lingkungannya.

Pengendalian erosi juga sangat penting bagi perusahaan tambang, karena erosi yang tinggi akan menyebabkan sediment pond cepat penuh sehingga harus dilakukan pengerukan, dan itu akan memerlukan biaya lagi. Karena itu, lahan-lahan miring di kawasan tambang perlu ditanami dengan cover crop, sehingga erosi dan longsor dapat dicegah. “Dari saat membuka lahan, menambang, sampai reklamasi lahan bekas tambang, konservasi tanah dan air harus dilakukan oleh perusahaan untuk keamanan operasi maupun melindungi lingkungan dan masyarakat sekitar tambang karena kalau terjadi longsor, dengan investasi tambang yang besar, kerugian bagi perusahaan maupun lingkungan juga akan semakin besar,” kata Irdika.

Webinar kedua seri “Konservasi Tanah & Air” yang diselenggarakan Tropenbos Indonesia bekerja sama dengan MKTI ini diawali dengan kata pengantar oleh Maria Ratnaningsih, Wakil Ketua Umum MKTI. Lebih dari 1000 peserta mengikuti webinar ini baik melalui zoom maupun youtube dan sebagian dari mereka mengatakan, tema mengenai tambang dan banjir ini sangat relevan dan menarik untuk ditindaklanjuti.

Materi presentasi bisa di download disini

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: