Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #14 UUCK dan Kehutanan Kita

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #14 UUCK dan Kehutanan Kita

Indonesia - 10 March, 2021

Tropenbos Indonesia kembali menggelar serial webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri ke-14 bertajuk “UUCK dan Kehutanan Kita” pada Sabtu, 6 Maret 2021 lalu. Pembicara dalam webinar kali ini adalah Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, yang dalam webinar ini memberikan paparan bertajuk “Pembangunan Kehutanan Berbasis Landscape”, Direktur FORICA dan Deputy Director Pusat Science Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta, Agus Setyarso, yang memberikan paparan berjudul “KPH Menyongsong Pelaksanaan UUCK”, dan Kepala Dinas LHK Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Madani Mukarom, yang memberikan paparan berjudul “Penguatan KPH di NTB”. Lebih dari 200 peserta mengikuti webinar ini baik melalui zoom maupun link youtube.

Dalam pengantarnya di awal acara, Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto mengatakan, sejak Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) No. 11 tahun 2020 diterbitkan, sampai saat ini setidaknya sudah 49 Peraturan Pemerintah (PP) diluncurkan sebagai turunannya, dimana lima diantaranya terkait dengan Kehutanan, termasuk diantaranya PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Untuk menindaklanjuti UUCK ini, menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki kepentingan strategis karena ditengah upaya pemerintah melakukan upaya percepatan investasi, penyediaan lahan, dan sebagainya, sektor kehutanan dan lingkungan hidup semakin dibutuhkan perannya untuk melindungi hutan-hutan yang tersisa. “Beberapa PP yang telah terbit tersebut diantaranya adalah untuk menyelesaikan berbagai keterlanjuran seperti keberadaan kebun sawit di kawasan hutan,” kata Edi.

Menurut Bambang Hendroyono, UU No.41 tahun 1999 mengenal adanya izin usaha pemanfaatan hutan yang memiliki dua aspek penting, yaitu aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Sehingga ketika pemerintah memberikan izin usaha, pemerintah harus mampu menjamin kedua aspek tersebut. “Dua aspek ini mengakibatkan terjadinya hubungan antara pemberi izin dan penerima izin,” katanya. Pemberi izin harus menjamin kepastian usaha, kepastian kawasan, kepastian waktu usaha, kepastian penjaminan hukum, dan inilah yang menjadi poin ketika UUCK dihantarkan, agar juga menjamin kelestarian, baik kelestarian produksi, kelestarian lingkungan, maupun kelestarian budaya. Di tingkat tapak, menurutnya, inilah tugas KPH untuk melakukan pengawasan agar pemegang izin usaha mematuhi terlaksananya aspek-aspek tersebut.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan yang terkecil sehingga semua hal yang terjadi di wilayah hutan diharapkan tidak terluput dari pemantauan KPH. Meski selama ini perhatian lebih banyak terarah pada pemanfaatan hutan seperti hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dll, pengelolaan hutan bagi KPH juga tidak terlepas dari kegiatan rehabilitasi dan reklamasi. KPH lah yang akan mengetahui di mana posisi spatial kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung. Meski demikian, saat ini KPH masih menghadapi beragam kendala seperti belum adanya harmonisasi Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) KPH dengan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) maupun integrasi dokumen perencanaan daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD) dengan dokumen perencanaan nasional (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN).

Selanjutnya Dirjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih menyampaikan banyak hal lagi seperti mengenai pendekatan lanskap kerja KLHK di mana terjadi integrasi antara instrumen Lingkungan Hidup dan Instrumen Kehutanan, serta posisi KPH di dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No.23/2014, PP No.18/2016, dan Permendagri No.12/2017, dimana KPH memiliki peran strategis dalam tata kelola dan kelembagaan bidang kehutanan.

Sementara itu, Madani Mukarom menyampaikan kondisi hutan dan sosial ekonomi di sekitar hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana luas kawasan hutan yang lebih dari 1 juta ha sebagian besar merupakan kawasan Hutan Lindung (41,9%) dan Hutan Produksi (41,8%), dan sisanya merupakan kawasan konservasi (16,3%). “Isu strategis di NTB terkait hutan adalah degradasi hutan dan lahan, lemahnya penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan, belum optimalnya operasional lembaga pengelola hutan termasuk KPH, terbatasnya pemanfaatan potensi sumber daya hutan, dan rendahnya nilai tambah produk kehutanan,” urai Madani.

Perkembangan KPH di NTB berawal dari 4 KPH pada 2015 menjadi 16 KPH pada 2019. Operasionalisasi resort sebagai organisasi di bawah KPH menjadi kekuatan di dalam tata kelola hutan di tingkat tapak untuk memperkuat KPH. SDM KPH sendiri terdiri dari PNS dan tenaga kontrak, dengan anggaran operasional yang terus meningkat dan pada 2020 lalu mencapai Rp36,2 miliar. “Meski kemudian pada 2021 ini menurun tajam menjadi di bawah Rp20 miliar karena situasi,” kata Madani. Salah satu dampak penguatan KPH di NTB adalah tumbuhnya produk industrialisasi HHBK seperti minyak kemiri, minyak kayu putih, porang, madu, lilin lebah, dan bubuk kayu manis.

Namun demikian, menurut Madani, terbitnya UUCK dan PP 23/2021 telah menyebabkan hilangnya kewenangan KPH dan daerah untuk melakukan fasilitasi kemitraan dan kerja sama kehutanan yang sebelumnya menjadi pendorong dukungan pemerintah provinsi, serta menurunnya dukungan KLHK terhadap sarana dan prasarana operasional KPH. Sebagai saran dan tindak lanjut, menurut Madani, dalam permen LHK pasca PP 23/2021 diharapkan adanya pendelegasian kewenangan kembali kepada KPH atau gubernur untuk melakukan fasilitasi kemitraan atau perizinan usaha pemanfaatan hutan di wilayah tertentu dengan luasan terbatas, dan meningkatkan fasilitasi KLHK dalam mendukung penguatan sarana prasarana operasional KPH.

Sementara itu, Agus Setyarso, menyampaikan paparan mengenai baseline KPH saat ini, KPH pada konstelasi pelaksanaan UUCK, dan bagaimana KPH menyiapkan diri pasca terbitnya UUCK 2020. “Yang sering menjadi isu dan mengalami dinamika perkembangan adalah KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi) dan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung), sementara KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) sering diperlakukan tidak signifikan,” katanya. Menurut catatan Agus, hingga 2019 ada sekitar 560 unit KPHP dan KPHL dengan cakupan area lebih dari 80 juta ha. “Baik KPHP maupun KPHL saat ini masih dalam tingkat pertumbuhan dengan tingkat pertumbuhan kematangan kinerja yang mungkin hanya sekitar 10%-20% dari yang diharapkan,” katanya. Dari kebutuhan tenaga kerja untuk KPH yang dalam RPJMN 2015 berjumlah 18.000 orang, status pada 2019 hanya 1.415 orang. “Ini berarti, tenaga profesional di KPH saat ini kurang dari 10%,” katanya.

Sebagai tuan rumah di tingkat tapak, sesuai PP 23/2021, disebutkan bahwa Kepala KPH adalah pimpinan pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan dalam wilayah yang dikelolanya. “Artinya, Kepala KPH adalah semacam CEO (Chief Executive Officer) dari setiap KPH,” Agus mengibaratkan. KPH memiliki tanggung jawab pengelolaan yang meliputi perencanaan pengelolaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengelolaan, serta pengendalian dan pengawasan.

Didalam membuat perencanaan usaha, pemegang izin usaha yang memiliki izin pemanfaatan hutan perlu berkolaborasi dengan KPH selaku pengelola hutan. “KPH perlu mengarahkan pemanfaatan hutan kepada setiap pemegang perizinan terutama didalam menyiapkan dokumen rencana kerja usaha,” kata Agus. Kerja sama ini diperlukan agar sinergi di tingkat lanskap dapat berjalan. Untuk mampu melakukan ini, KPH memerlukan instrumen kelembagaan yang kuat dari tingkat provinsi hingga resort, instrumen SDM, teknologi, pendanaan, maupun koalisi dan jejaring, dan di masa depan dengan database yang kuat membangun artificial intelligent sehingga masalah yang muncul di lapangan dapat diketahui secara real time dan simulasi bisa langsung dilakukan untuk segera mengatasinya.

Pasca webinar, seorang peserta menyimpulkan, ketiga narasumber sekaligus mewakili tiga perspektif mengenai KPH, yaitu perspektif politik pemerintahan yang bersifat mengatur sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, perspektif problem based governance dari tingkat tapak, dan perspektif pendekatan akademis untuk penguatan KPH.

Materi presentasi bisa di download disini

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: