Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri#3 Rehabilitasi dan Fakta Baru Perisai Negeri Kita

Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri#3 Rehabilitasi dan Fakta Baru Perisai Negeri Kita

Indonesia - 06 April, 2021

Mangrove adalah perisai pesisir negeri kita karena melindungi dari gelombang tinggi, tsunami, abrasi, dan yang menentukan zona ekonomi ekslusif Indonesia sejauh 200 mil dari pantai. Bila mangrove tergerus, begitupun zona ekonomi eksklusif Indonesia. Itulah yang dikatakan Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, saat mengawali seri ke-3 webinar “Konservasi Tanah dan Air” bertajuk “Rehabilitasi dan Fakta Baru Perisai Kita”. Sebagai perisai iklim, mangrove juga berperan sebagai penyimpan dan penyerap karbon yang ternyata 3 – 5 x lipat lebih besar dibanding dengan hutan tropis. Sekitar 600 peserta mengikuti webinar ini baik melalui zoom maupun youtube.

Menurut M. Zainal Arifin, Direktur Konservasi Tanah dan Air, Direktorat Jendral Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang memberikan paparan berjudul “Kebijakan Rehabilitasi Mangrove”, dengan kawasan mangrove seluas 3,31 juta ha, Indonesia menjadi negara dengan mangrove terluas di dunia. Tak hanya itu, ekosistem mangrove Indonesia juga memilki spesies terkaya. Sayangnya, hampir 20% mangrove Indonesia kini berada dalam kondisi kritis. Tak heran bila melalui Perpres No.120/2020, pemerintah mencanangkan rehabilitasi mangrove/pantai seluas 600.000 ha di 9 provinsi prioritas untuk dilakukan oleh BRGM bersama KLHK dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Saat ini peta mangrove nasional yang ada berasal dari tahun yang berbeda-beda sehingga menurut Zainal perlu ada kajian mendalam agar apa yang ditampilkan di dalam peta nasional ini benar-benar bisa menggambarkan kondisi mangrove nasional yang sesungguhnya. “Kajian peta mangrove nasional sangat penting sebagai baseline data untuk pengelolaan mangrove ke depan dan menentukan arah keputusan yang diambil pemerintah,” katanya.

Menurut Haruni Krisnawati, Peneliti Ahli utama Badan Litbang dan Inovasi KLHK dalam paparannya yang berjudul “Peran mangrove dalam KTA (Konservasi Tanah dan Air), mitigasi dan adaptasi perubahan iklim”, mangrove ditemukan di 118 negara di dunia, dimana 23% mangrove dunia itu ada di Indonesia (Giri et al, 2010). Mangrove di Indonesia tersebut menyimpan sepertiga cadangan karbon dunia dan setiap 1 ha hutan mangrove mampu menyimpan karbon 4x lebih banyak dibanding hutan terrestrial, serta menyerap emisi CO2 20x lebih besar daripada hutan tropis terrestrial.

Sebagai penyedia jasa ekosistem, mangrove memiliki 5 peran, yaitu sebagai supporting, biological, provisioning, regulating service, dan cultural. “Kita semua bisa merasakan manfaat-manfaat ini, bukan hanya yang tinggal di sekitar mangrove saja,” kata Haruni. Sebagai provisioning service, misalnya, manusia memperoleh manfaat dari hasil mangrove berupa air bersih, kayu bakar, bahan obat dan herbal (teh herbal), sumber pangan, HHBK dan bahkan bahan pewarna batik. “Bisa digunakan sebagai pewarna alami kain batik,” katanya. Sedangkan sebagai regulating service, mangrove membuat manusia bisa bertahan hidup karena melindungi daratan dari ancaman abrasi, tsunami, kenaikan permukaan air laut, menjaga kualitas air, menyimpan dan menyerap karbon, dan berperan dalam pengendalian perubahan iklim, juga sebagai penjernih air dengan memerangkap sedimen yang melewatinya serta menyaring limbah polusi.

Dua hal yang dapat mempengaruhi mangrove adalah tekanan iklim (climate stressors) dan tekanan antropogenik (anthropogenic stressors). “Kerentanan terhadap perubahan iklim dan tekanan antropogenik ini perlu diimbangi dengan upaya mitigasi dan adaptasi melalui konservasi, rehabilitasi, restorasi, pengelolaan berkelanjutan dan langkah-langkah adaptasi, serta pentingnya monitoring dan kerja sama dengan para pihak dalam menjaga mangrove kita,” kata Haruni.

Nyoman Suryadiputra, Senior Advisor Yayasan Lahan Basah (YLBA) yang memberikan paparan berjudul “Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove” sepakat mengatakan, “Hutan bakau adalah benteng daratan kita, wajah pesisir Indonesia.” Dengan mengetahui kondisi pesisir Indonesia, menurutnya, kita bisa mengetahui penyebab, pelaku, dan pendekatan yang harus diambil untuk mengatasi kerusakan yang terjadi. “Apakah mangrove yang rusak itu harus direhabilitasi, atau dibiarkan saja supaya tumbuh lagi secara alami, di mana lokasinya bila harus ditanami lagi, dan seperti apa teknologinya?” imbuhnya.

Diantara sejumlah tantangan yang dihadapi dalam rehabilitasi pesisir di Indonesia saat ini adalah kebijakan pesisir yang belum dipahami dan penegakan hukum yang rendah, tata ruang belum mengakomodasi perlunya perlindungan pesisir, penurunan lahan pesisir akibat ekstraksi air tanah tidak terkendali dan erosi, serta naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim.

Sejumlah hal yang perlu diketahui ketika merehabilitasi mangrove adalah tutupan lahan dan perubahan pemanfaatannya (spatial dan temporal changes), status lahan dan legalitas kepemilikan, kondisi biofisik dan ancaman, data demografi agar dapat melibatkan masyarakat, kebijakan terkait sempadan pantai, dan sebagainya. Selain itu, rehabilitasi mangrove juga harus memberikan benefit ekonomi yang jelas dengan melibatkan masyarakat dan anggota keluarganya. Nyoman mencontohkan kontrak yang pernah dibuatnya dengan masyarakat dimana dana yang diberikan bisa menjadi hibah bila mangrove yang ditanam tumbuh dengan baik, namun dana tersebut harus dikembalikan sebagai hutang bila mangrove yang bertahan hidup kurang dari 75%. Nyoman juga men-sharing-kan sejumlah pengalamannya dalam merehabilitasi mangrove di Indonesia yang sudah dilakukannya sejak 1998 mencakup area seluas 4,000 ha dengan berbagai teknologi termasuk dengan teknologi perangkap substrat, perangkap lumpur, dan pemecah gelombang.

Materi presentasi bisa di download disini

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: