Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#19 Belajar dari Penggerak Wirausahawan Hutan

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#19 Belajar dari Penggerak Wirausahawan Hutan

Indonesia - 10 June, 2021

Pendampingan pasca perolehan izin Perhutanan Sosial (PS) ternyata berperan besar dalam mendukung keberhasilan usaha masyarakat. “Saat ini sudah begitu banyak upaya dari lembaga sipil untuk pendampingan masyarakat, untuk mendapatkan izin PS, namun keberhasilan masyarakat (melakukan usaha perhutanan sosial) ternyata banyak ditentukan oleh pendampingan yang dilakukan pasca perolehan izin,” kata Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia dalam acara webinar series #19 “Mengelola yang Tersisa” yang pada Sabtu, 5 Juni 2021 lalu mengangkat topik “Belajar dari Penggerak Wirausahawan Hutan”. Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini adalah mereka yang telah berperan nyata dalam meningkatkan kelembagaan maupun akses pasar dari usaha masyarakat yang berbasis hutan.

Tejo Pramono, salah satu narasumber yang hadir, adalah Pendiri Kopi Ranin, sebuah usaha yang coba mengangkat cita rasa kopi dan memberikan pelatihan bagi para petani kopi agar bisa memiliki pemahaman yang lebih baik akan nilai dan cita rasa kopi. Tejo mengawali bisnisnya nyaris tanpa program, tanpa sumber daya, juga tanpa kemampuan membangun riset. Namun, ia melihat bisnis bisa menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Sejumlah masalah yang ia amati terkait kopi saat itu adalah kemiskinan petani kopi di pedesaan, rendahnya harga jual panen, akses ke kebun kopi yang sulit, infrastruktur yang tidak memadai, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah untuk melakukan praktik pertanian yang baik (GAP), kepemilikan lahan yang sempit sehingga mereka harus mengakses lahan-lahan hutan, usia petani yang sudah lanjut dan tak banyak jumlahnya karena generasi muda sedikit yang mau bertani, dan sarjana pertanian yang lebih banyak tidak mau terjun di bidangnya. Menurut Tejo, sebagian besar petani kopi justru tereksklusi dari bisnis pertaniannya. Bisnis kopi yang besar ternyata tidak memberikan kesejahteraan kepada petani. “Kopi Lampung adalah bahan espresso di Italia. Tapi petani di Lampung tidak bisa membayangkan seperti apa bisnis kopi itu,” katanya.

Sisi hilir yang belum tergarap inilah yang menjadi gagasan bagi Tejo untuk mendirikan Kopi Ranin. Idenya adalah mengangkat kopi petani dengan memamerkan produk-produk mereka. “Ini diniatkan untuk menjadi semacam etalase bagi produk pertanian, khususnya kopi. Kami akan menggunakan produk-produk dari petani Indonesia, karena itu kami bermitra dengan keluarga-keluarga petani,” katanya. Tejo menjamin, semua kopi yang ada di etalase Kopi Ranin memiliki jaminan ketelusuran (tracibility). Kini harga produk kopi dari petani binaan Tejo telah naik hingga 3-4 kali lipat dibanding saat awal ia memberikan pelatihan kepada mereka. Apalagi setelah petani kopi di Cisarua yang dibina Tejo menjadi juara nasional untuk kopi robusta. Mereka menjadi semakin yakin, kopi bisa memberikan kehidupan yang lebih baik.

Selain Tejo, paparan yang tak kalah inspiratif datang dari Vinto Bustam Effendi, desainer produk dan pendiri Vinto Craft, yang telah sukses memasarkan aneka produk anyaman ke berbagai negara. Kunci keberhasilan Vinto menembus pasar luar negeri, menurutnya adalah karena produk yang ditawarkannya memiliki sejumlah kriteria, seperti produk yang eksklusif, berkualitas dan unik. Vinto juga mengingatkan, karakter negara yang menjadi tujuan pemasaran produk, gaya hidup maupun perilaku masyarakatnya juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan. Pasar Eropa misalnya, menyukai dan lebih menghargai produk-produk natural yang tidak dicampur dengan bahan-bahan lain seperti metal atau plastik. Karena itu, ia menciptakan produk-produk unik berbahan natural seperti wadah wine dari anyaman bambu atau tudung saji penutup makanan dari daun pisang kering. “Kotak kerupuk pun dibuat dari bambu,” katanya.

Vinto craft.jpeg

Vinto juga memberikan tip agar pelaku usaha memiliki wawasan yang luas, relasi yang bagus, melek teknologi, dan etika maupun olah bahasa yang baik. Bila merupakan kelompok usaha, setidaknya pemimpinnya harus memiliki semua kriteria itu. Selain itu, menurutnya, mindset pelaku usaha harus diubah agar tidak hanya menganggap usahanya sebagai sambilan, melainkan memang mata pncaharian yang harus ditekuni dengan sungguh-sungguh.Agar sumber daya hutan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat hutan, menurut Riche Rahma Delvita, Koordinator Program Warsi, 6 aspek penting yang diperlukan adalah kepastian/legalitas, solidaritas sosial, kelembagaan, infrastruktur pendukung, kemampuan masyarakat menyuarakan hak dan kepentingan, dan berkembangnya sumber mata pencaharian. Pasca perolehan izin PS, menurutnya paling tidak ada beberapa hal yang perlu disiapkan, diantaranya memetakan potensi, kelembagaan usaha, serta jaringan dan pasar. Rieche mencontohkan keberhasilan pengelolaan PS pasca perizinan pada masyarakat desa Rantau Kemas dengan produk kopinya, dan peningkatan ekonomi di Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo Sumbar dengan peningkatan kualitas berasnya melalui pertanian organik.

Upaya mendorong keberhasilan tersebut memang tidak dilakukan dalam waktu singkat, namun melalui promosi yang terus menerus, dan memastikan ada kader lokal yang memililki semangat wirausaha, serta mendorong agar produk tersebut dapat menjadi produk unggulan bagi Pemerintah Daerah. WARSI juga mendorong pemasaran kopi dan beras organik tersebut melalui platform berbasis teknologi, yaitu “Beranda Sumatera”.

Promosi produk masyarakat juga dilakukan NTFP-EP melalui Parara (Panen Raya Nusantara). “Parara beranggotakan 30 konsorsium yang memiliki visi sama, yaitu menjaga tradisi dan merawat bumi, mewadahi 108 komunitas produsen untuk mempromosikan kearifan lokal dan produk komunitas yang adil dan lestari,” kata Direktur NTFP-EP, Jusupta Tarigan. Selain mempromosikan produk melalui Festival Parara, produk masyarakat juga dipasarkan secara online melalui sosial media dan secara offline melalui kedai Parara yang berlokasi di Kemang Timur, Jakarta. Inovasi juga dilakukan pada produk yang dipasarkan seperti membuat pizza atau cake dari singkong, biskuit atau mie dari sagu, atau abon dari rebung. Selain produk makanan, adapula produk fashion Parara, yang membidik kelas pasar yang lebih atas dan sudah ikut ambil bagian dalam Milan Fashion Show di Paris, Perancis.

Materi presentasi bisa di download DISINI.

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: