Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri#18 Implikasi Kelola SDH Pasca UUCK

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri#18 Implikasi Kelola SDH Pasca UUCK

Indonesia - 26 May, 2021

Setelah membahas topik terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) No.11/2020 dalam dua webinar terdahulu, webinar series Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” #18 ini kembali mengulas topik seputar implikasi UUCK terhadap pengelolaan sumber daya hutan (SDH). Hadir sebagai narasumber adalah para pakar di bidang perhutanan sosial, baik dari perwakilan pemerintah, akademisi, maupun praktisi. Acara yang berlangsung Sabtu, 22 Mei 2021 ini diikuti oleh sekitar 500 peserta baik melalui zoom maupun youtube.

Dari perwakilan pemerintah, Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyampaikan, berbicara tentang kebijakan lingkungan hidup (LH) dan kehutanan, adalah juga berbicara tentang keterkaitannya dengan kebijakan berbagai hal lain. “Jangan hanya melihat sepotong Undang-Undang (UU) No.41/1999, sepotong UU No.5/1990, tapi LH itu sebetulnya juga di UU No.32/2009 dan UU 23/2014,” katanya. Berbagai kebijakan yang ada di dalam lingkup LH dan kehutanan dalam pelaksanaannya selama ini memang kerap tumpang tindih. Namun, menurut Bambang, hadirnya UUCK No.11/2020 sebagian besar telah mensinkronisasikan hal tersebut. “UUCK bukan hanya debirokratisasi dan deregulasi, tetapi juga menjamin sumber daya alam dan sumber daya hutan yang akan dilakukan pembangunan tetap berwawasan lingkungan,” katanya.

Bambang mengatakan, saat ini telah terjadi perubahan mendasar dalam tata kelola kehutanan dimana sejumlah Peraturan Menteri telah menguatkan PP maupun UUCK. Berbagai terobosan juga telah dilakukan, meski pengawasan terhadap pelaksanaannya di lapangan masih harus terus ditingkatkan. “Usaha yang melanggar pasti kena sanksi dan mengarah pada sanksi administrasi dan sanksi pidana,” katanya. Sesuai Pasal 27 terkait Hutan Lindung, dan Pasal 29 terkait Hutan Produksi, hak pengelolaan hutan juga tidak hanya diberikan kepada swasta atau pihak konsesi, melainkan juga kepada perorangan dan koperasi. Selain itu, keharusan bagi swasta untuk menjamin kelestarian usaha atau kelestarian produksi dan kelestarian lingkungan ditegaskan kembali melalui Pasal 30 dan 31.

Saat ini, menurut Bambang, Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK terus mengawal 11 poin kebijakan yang meliputi pemetaan potensi sumber daya hutan untuk perizinan berusaha, revisi rencana kerja usaha, penyelesaian tata batas areal perizinan berusaha, penyelesaian konflik tenurial di areal perizinan berusaha melalui pendekatan hutsos dan pengembangan agroforestry, kesinambungan produktivitas, optimalisasi pemanfaatan hutan di areal perizinan berusaha, penerapan sistem silvikultur dan teknik pemanenan, diversifikasi produk, membangun konfigurasi bisnis baru untuk menjamin kekuatan sektor hulu, hilir dan pasar, evaluasi kinerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) multiusaha kehutanan, dan dukungan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta No Deforestation Commitment/NDC.

Menurut San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), pemanfaatan hutan melalui pengelolaan Perhutanan Sosial (PS) di dalam kawasan Hutan Negara maupun Hutan Adat bertujuan untuk mewujudkan tiga hal penting yaitu kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat, dan keseimbangan lingkungan. Ia melihat hal yang menarik didalam UUCK, yaitu pelaksanaan PS kini bukan hanya karena ada di areal konflik, tetapi memang karena bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. “Sehingga bila ada konflik tenurial atau pemukiman, itu adalah bagian dari fakta sosial yang memang harus diselesaikan,” katanya. Namun bila tiada konflik pun, PS tetap bisa dilakukan.

Lalu apa saja yang bisa dilakukan didalam kegiatan PS? Menurut San Afri, langkah awal adalah penataan areal dan penyusunan rencana. Kepastian area ini seperti ‘rumah’ yang harus ada dulu sebelum dapat dilakukan penataan lebih lanjut. Penataan areal ini juga perlu diikuti dengan kegiatan penandaan batas, yang berupa batas blok atau batas petak. “Penandaan batas ini bukan tata batas karena PS ini berada di kawasan hutan, bukan di luar hutan. Ketika berbatasan dengan APL, baru perlu ada tata batas karena berkaitan dengan hutan negara atau bukan hutan negara,” katanya. Meski sebetulnya dapat dilakukan secara sederhana, penandaan batas ini kerap merupakan hal yang tersulit dan menimbulkan konflik sehingga memerlukan pendampingan.

Kegiatan lain yang dapat dilakukan adalah pengembangan usaha berupa pemanfaatan kawasan dan jasa lingkungan. Selain memerlukan perencanaan, pengembangan usaha ini juga memerlukan pendampingan baik pendamping lokal maupun yang disiapkan oleh Ditjen PSKL. San Afri mengingatkan agar kegiatan pendampingan ini tidak selalu mengandalkan LSM karena keterbatasan dana mereka, tetapi sebaiknya dimasukkan dalam anggaran APBN/APBD/BPDLH. Perguruan Tinggi di setiap provinsi, misalnya, dapat melakukan pendampingan dengan dana BPDLH. Demi tercapainya PS yang berkualitas, pengelolaan PS juga memerlukan pengembangan kelembagaan, serta bimbingan teknis dan pendidikan/pelatihan.

Sementara itu, Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) mengatakan, di dunia usaha kini telah telah terjadi pergeseran paradigma dari manajemen kayu (timber management) menuju manajemen hutan (forest management). Ini juga merupakan arahan Menteri LHK yang telah disampaikan dalam Rakernas APHI pada Oktober 2018. Dalam konteks itulah, menurut Purwadi, diperlukan konfigurasi bisnis baru dalam industri kehutanan, membangun hutan tanaman dan mengelola hutan alam, mulai dari hulu hingga ke hilir, termasuk mengembangkan dan melakukan scaling up industri hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Purwadi melihat arahan inipun telah terefleksi dalam UUCK, PP maupun sejumlah Permen turunannya.

Berdasarkan roadmap APHI (2016-2045), APHI tetap menganggap kayu sebagai core business yang harus diperkuat, namun pada saat yang sama APHI juga memperkuat bisnis hasil hutan lainnya, termasuk bioprospecting, agroforestry untuk mendukung ketahanan pangan, jasa lingkungan seperti ekowisata dan karbon, energi biomassa dan energi terbarukan. “Semua itu akan menjadi pilar penting ketika APHI coba mewujudkan 95% potensi dari hasil hutan yang kini belum dioptimalkan,” katanya.

Menurut Purwadi, terbitnya UUCK memberikan landasan yang semakin kuat bagaimana konfigurasi bisnis kehutanan yang diaktualisasikan dalam bentuk multi-usaha kehutanan kini mendapat payung kebijakan. Purwadi mencontohkan beberapa substansi pokok yang dirasakan APHI sangat membantu seperti penyederhanaan birokrasi yaitu pada penataan batas areal kerja di mana ada penyederhanaan tahapan dan penerapan teknologi tata batas virtual. Contoh lain adalah adanya transformasi perizinan berusaha sehingga tidak ada lagi proses yang berbelit dan adanya jaminan jangka waktu dan luas kawasan usaha, serta penguatan hulu hilir yang berupa kemudahan pendirian industri pengolahan di areal PBPH.

Purwadi mengingatkan, kini urgensinya sudah tiba untuk mendorong industri kehutanan Indonesia menjadi sebuah ekosistem industri kehutanan modern. “Konfigurasi bisnis kehutanan melalui multiusaha sudah digaungkan dan sudah dipayungi kebijakan. Dengan potensi hutan lebih dari 120 juta ha, atau 64 juta ha hutan produksi sesungguhnya merupakan modalitas yang sangat berharga, yang bisa menempatkan sektor kehutanan sebagai sektor prioritas,” katanya. Ekosistem industri kehutanan baru ini bertumpu pada 5 pilar, yaitu sistem produksi, pengolahan, pemasaran, pembiayaan, dan kelembagaan. Terintegrasinya kelima pilar ini, menurutnya, akan mendorong industri kehutanan menjadi sektor yang modern, mandiri, dan memberikan kontribusi yang besar diantara sektor-sektor lain yang juga menjadi unggulan.

Untuk mengarusutamakan industri kehutanan modern ini, Purwadi memberikan sejumlah rekomendasi diantaranya penguatan kurikulum perkuliahan berbasis agro-forest industy, penetapan sektor prioritas oleh pemerintah, penetapan sektor yang masuk dalam kategori pembiyaan keuangan berkelanjutan, koordinasi lintas kementerian atau lembaga untuk pengaturan jurisdiksi atau kewenangan pengelolaan, pemberian insentif pajak dan PNBP untuk multiusaha berbasis kemitraan dengan masyarakat, pemberian insentif untuk industri rendah karbon, dan mobilisasi sumber daya untuk penguatan pasar ekspor.

Suwito dari lembaga TP2-PS, Kemitraan Parnership, yang bersama pemerintah mendorong percepatan PS menjelaskan, saat ini dari luas 13,9 juta ha target PIAPS (Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial) yang ditetapkan oleh Menteri LHK berdasarkan SK 2111/2020 (meski dalam RPJMN yang ditargetkan adalah 12,7 ha), capaiannya baru sekitar 4,5 juta ha (35%) hingga Mei 2021. Berdasarkan data Ditjen PSKL, pasca perolehan izin, dari 4 kategori kelompok PS yaitu blue, silver, gold, dan platinum, angka terbesar masih berada pada biru dan silver. Artinya, meski SK sudah diterbitkan tetapi tindak lanjutnya mungkin masih terbatas; penyusunan rencana kerja sudah dilakukan, tetapi belum sampai pada tahap operasional, atau tenaga pendampingnya sudah kehabisan energi.

Sejumlah tantangan memang masih dihadapi PS sampai saat ini, diantaranya masalah pemahaman atau persepsi tentang PS yang kerap dituding sebagai legalisasi deforestasi. “Padahal, ini tidak benar, kita tidak melayani rakyat untuk merusak alam, tetapi untuk menciptakan keseimbangan,” kata Suwito. Melalui PS, telah terjadi perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih peduli terhadap kelestarian hutan, seperti yang dibuktikan oleh studi UGM yang menyatakan 99,5% responden di Yogyakarta dan Lampung membenarkan terjadinya perubahan perilaku itu. Kawasan HKM di Nagari Indudur, Sumatra yang dulu tandus kering, contohnya, kini telah menghijau berkat izin HKm yang diberikan. Masyarakat yang dulu membeli air dari luar daerah kini justru bisa membangun usaha air mineral yang dijual keluar daerah. “Tudingan atau persepsi bahwa PS merupakan legalisasi deforestasi adalah tidak benar,” tegasnya. Sebaliknya, masyarakat justru semakin merasa memiliki, sehingga semakin ingin merawat hutan yang telah mereka rasakan manfaatnya dan memiliki relasi yang harmonis dengan sumber daya hutan.

Tantangan lain, menurut Suwito, adalah anggapan bahwa PS masih merupakan program sektoral kehutanan, terutama di tingkat Pemerintah Kabupaten pasca UU 23/2014 yang menarik kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk urusan kawasan hutan. Padahal, PS merupakan sinergi lintas sektor yang tidak hanya mengenai kawasan hutan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pengembangan UKM dan Koperasi, serta kemandirian ekonomi. Di tingkat tapak, juga masih ada tantangan fasilitasi oleh KPH terkait transformasi peran KPH dimana masih diperlukan peningkatan anggaran, peningkatan sumber daya manusia, sehingga ada integrasi antara KPH dengan pengembangan PS di Indonesia.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: