Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#20 Menjaga Satwa Nusantara

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#20 Menjaga Satwa Nusantara

Indonesia - 05 July, 2021

Beragam satwa liar yang langka di dunia terdapat di Kalimantan Barat, sebut diantaranya Silok Merah atau Orangutan, namun penyelenggaraan konservasi satwa liar masih menghadapi beragam tantangan. “Saya tidak melihatnya sebagai masalah melainkan tantangan dan jawabannya ada di lapangan,” kata Sadtata Noor Adirahmanta, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kalimantan Barat, dalam serial webinar Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” yang kali ini mengulas topik tentang “Menjaga Satwa Nusantara”. Webinar ini dilaksanakan secara daring pada Sabtu, 3 Juli 2021 ini dengan diikuti oleh sekitar 300 peserta.

Menurut Sadtata, yang dalam kesempatan ini memberikan paparan berjudul “Hidup Berdampingan Dengan Satwa Liar. Sebuah Gagasan Baru Konservasi Satwa Liar”, tantangan terbesar konservasi satwa liar yang dihadapi saat ini adalah, pertama, gangguan habitat akibat adanya interaksi/bersinggungan dengan aktivitas masyarakat misalnya karena kebakaran, dan lain-lain. Kedua, adanya pemanfaatan yang tidak pada tempatnya seperti perburuan dan perdagangan, meski sebetulnya menikmati satwa liar tidak harus memiliki atau dengan mengurungnya. Ketiga, dan yang merupakan tantangan terbesar menurut Sadtata adalah mindset, baik mindset penyelenggara konservasi maupun mindset masyarakat.

Masyarakat misalnya, selama ini menganggap satwa liar sebagai monster seperti yang terlihat dalam gambaran beberapa film seperti Megadon, KingKong, Jurasic Park atau Godzilla, sehingga memelihara satwa liar dianggap sebagai sesuatu yang keren atau luar biasa. Sedangkan penyelenggara konservasi masih memiliki mindset menjaga, melindungi, tidak boleh ini atau itu. “Belum berpikir lebih jauh bagaimana penyelenggaraan konservasi ini memberikan keuntungan langsung kepada masyarakat,” katanya. Sehingga hutan tetap terjaga, satwa liar tetap bebas merdeka, namun masyarakatnya juga tetap bisa memperoleh pendapatan.

Diantara berbagai kasus satwa liar yang ditemui BKSDA, menurut data yang dipaparkan Sadtata, sepanjang tahun 2020 saja, hasil operasi seperti penangkapan di pos bandara, pos pelabuhan, atau hasil tangkapan patroli mencapai 97 kasus. Selain itu, ada pula 24 kasus hasil penyelamatan berdasarkan laporan masyarakat, dan 34 kasus merupakan penyerahan masyarakat. Untuk menerima laporan masyarakat terkait kasus-kasus satwa liar, BKSDA juga memiliki call center di nomor 0811 577 6767.

Sadtata mengisahkan, seekor beruang, misalnya, ketika masih kecil masyarakat senang memeliharanya, tapi ketika sudah besar, mereka merasa repot dan takut dan menyerahkannya kepada BKSDA. Padahal setelah belasan tahun dipelihara, dilepasliarkan tentu sudah tak mungkin. Kejadian lucu lain yang pernah terjadi adalah ketika masyarakat menangkap seekor buaya, padahal buaya itu sedang berjemur di sungai dan menyerahkannya kepada BKSDA. Ada Bekantan sedang berenang ditangkap, ada Burung Enggang masuk ke kebun pun ditangkap. “Lha, terus bagaimana, sudah berada di habitatnya kok, ditangkap,” ujarnya tertawa. “Mindset masyarakat seperti inilah yang harus kita ubah,” tambahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan BKSDA untuk mengubah mindset ini adalah memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya para pelajar, mengembangkan ekowisata agar masyarakat menjaga lingkungannya dan sekaligus mendapat penghasilan, mengembangkan cagar alam sebagai citizen science, dimana masyarakat yang masuk ke Cagar Alam ‘dipaksa’ menjadi peneliti sehingga apapun yang difoto masyarakat saat memasuki cagar alam harus dilaporkan di forum komunitas yang telah disediakan sehingga tak hanya masyarakat yang menjadi pemandu mendapat manfaat ekonomi, BKSDA juga mendapat data.

Strategi lain yang diterapkan BKSDA adalah bioprospeksi dan membangun desa ramah satwa dimana satwa bisa bebas hidup berdampingan dengan manusia. Terinspirasi dari Desa Wisata Burung di Jatimulyo, Yogyakarta, dimana pengunjung bisa menikmati bird watching atau fotografi burung dan mengikuti program adopsi sarang burung, sebuah desa ramah satwa kini juga tengah dikembangkan di Pulau Cempedak, Kalimantan Barat dengan ciri khas wisata Dugong. Sadtata menegaskan, yang harus dikembangkan di masa depan adalah konsep hidup berdampingan dengan satwa dan bukan lagi relokasi satwa.

Namun demikian, hidup berdampingan secara harmonis dengan satwa liar tak selalu mudah dilaksanakan karena konflik antara manusia dengan satwa liar cukup sering terjadi. Seperti yang disampaikan Tri Giyat Desantoro dari Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) tentang konflik antara manusia dengan Orangutan yang terjadi di Ketapang dan Kayong Utara. “Konflik ini bisa terjadi karena Orangutan mengalami kebakaran, alih fungsi hutan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya,” jelas Tri. Penanganan konflik ini, menurut Tri, memiliki tiga kriteria, yaitu merah bila memerlukan tindakan rescue sesegera mungkin, kuning bila memungkinkan tindakan rescue tetapi lebih diutamakan tindakan mitigasi, patrol dan sosialisasi terhadap masyarakat di tempat konflik, dan hijau bila tindakan rescue tidak dilakukan. Kriteria inilah yang akan menentukan tindakan penanganan selanjutnya.

Kegiatan 3R, yaitu Rescue, Rehab, dan Release untuk penyelamatan satwa juga dilakukan oleh Centre for Orangutan Protection (COP). Lembaga ini memiliki pusat rehabilitasi Orangutan Kalimantan khusus untuk sub spesies Morio, bernama BORA (Bornean Rescue Orangutan Alliance) yang terletak di Hutan Labanan, Berau, Kalimantan Timur. Penyelamatan Orangutan ini misalnya bila ada yang masuk ke pemukiman karena kebakaran hutan, atau yang berasal dari kepemilikan illegal dan hendak kembali dilepasliarkan. “Orangutan ini memerlukan proses rehabilitasi sebelum dilepasliarkan karena mereka mungkin telah hidup terlalu lama bersama manusia,” kata Indira Nurul Qomariah, Biologist dari COP. Biasa mendapat makanan yang sama seperti manusia seperti roti atau biskuit, mereka tak lagi terbiasa dengan makanan alaminya. Mereka juga mungkin mendapat perlakuan yang keliru seperti dirantai, atau tinggal di kandang yang sempit sehingga telah kehilangan kemampuan alaminya seperti memanjat pohon, membuat sarang, atau menghadapi bahaya.

Sementara itu, Tri Atmoko, Peneliti Senior KLHK, menceritakan tentang upaya penyelamatan satwa kharismatik Kalimantan yaitu Bekantan (Proboscis monkey), yang luas habitatnya kini makin menurun (sekitar 2% per tahun). Ini terjadi, menurut Tri, karena habitat Bekantan yang di tepi sungai mudah dikonversi untuk berbagai peruntukan lain seperti kebun, tambak, pemukiman, dan lain-lain. Fragmentasi yang terjadi juga menyebabkan populasi Bekantan terisolasi sehingga perkawinan antar populasi menurun dan menyebabkan penurunan kualitas genetik yang akhirnya mempercepat kepunahan. “Habitat Bekantan sebagian besar berada di luar kawasan konservasi, karena itu habitat di luar kawasan konservasi ini pun perlu menjadi fokus upaya konservasi,” katanya.

Materi presentasi bisa di download DISINI.

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: