Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#21 Belajar Menyelesaikan Konflik Hutsos

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#21 Belajar Menyelesaikan Konflik Hutsos

Indonesia - 26 July, 2021

Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan hak tenurial dan memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat melalui program Perhutanan Sosial (PS), aneka tantangan ternyata masih menghadang, termasuk munculnya beragam konflik. “Konflik kerap hadir karena merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, sesuatu yang natural terjadi termasuk dalam konteks PS,” kata Swary Utami Dewi - Anggota TP2PS KLHK/Board Kawal Borneo. Dalam PS, konflik bisa terjadi mulai sejak proses pengusulan untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan PS maupun sampai keluarnya pengelolaan izin PS. “Konflik ini tidak bisa kita duga kapan akan terjadi, bisa sifatnya muncul tiba-tiba, bisa pula merupakan sesuatu yang sudah lama terpendam lalu mencuat,” tambahnya.

Menurut Swary, Konflik biasanya terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar individu maupun antar kelompok dan bisa bersifat horizontal maupun vertical, atau campuran keduanya. Konflik PS seringkali lebih merupakan konflik sosial, misalnya, konflik antar kelompok petani yang sudah mendapatkan izin PS, atau dengan masyarakat desa lain yang tidak sepakat, atau dengan perusahaan. Sama seperti mata uang, setiap konflik, menurutnya, memiliki dua sisi yaitu dimensi positif dan negatif. Positif karena memungkinkan terjadinya perubahan/perbaikan ketika teratasi dengan baik, memberikan ruang untuk refleksi bagi pihak yang berkonflik, membuat para pihak mengenal diri sendiri maupun kelompoknya lebih baik, dan bisa mempersatukan. Namun di sisi lain, konflik juga berpotensi untuk menghancurkan, menimbulkan demotivasi, dan menyebabkan terjadinya perpecahan jika tidak mampu dikelola/diselesaikan.

Dengan adanya dua sisi ini, menurut Swary, pilihan paling logis adalah melihat sisi positif konflik, menghadapinya, dan tidak lari. “Penyelesaian atau mediasi atau resolusi akan memberikan peluang bagi konflik itu untuk bisa diselesaikan dengan baik. Jadi, ketika ada konflik, kenali, kelola, dan selesaikan,” katanya. Selain itu, pihak-pihak yang berkonflik harus berani untuk keluar dari zona nyaman, dan memiliki kemauan kuat untuk belajar dari proses konflik yang dinamis. Meski berharap yang terbaik, namun harus ada pula kesiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dikehendaki atau tidak sesuai harapan.

Untuk memperbesar peluang keberhasilan menyelesaikan konflik, Swary menawarkan pendekatan hati, yaitu pendekatan yang bersifat humanistik, memiliki kepekaan memahami dan merasakan, mengutamakan kemauan dan kemampuan untuk membuka diri dan merangkul, berani terbuka untuk perbedaan dan perubahan yang lebih baik, dan mengutamakan kerendahan hati dan tujuan baik. “Pendekatan humanistik ini yang sering dilupakan ketika menghadapi konflik,” katanya. Padahal melalui pendekatan hati ini, biasanya dapat ditemukan titik temu dari kedua pihak yang berkonflik. Tak selalu hanya mengandalkan kecerdasan otak, pendekatan hati memerlukan kecerdasan interpersonal, kepekaan hati, dan kemampuan ‘merangkul’ lawan untuk menghasilkan tujuan yang lebih baik. “Gunakan intuisi, hati, yang dipadukan dengan logika dan berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan konflik,” pesannya.

Menurut Mangara Silalahi, Presiden Direktur PT REKI yang memperoleh izin mengelola Hutan Harapan di Sumatera Selatan seluas sekitar 100,000 ha sejak 2007, konflik terjadi oleh adanya perebutan ruang diantara masyarakat (penduduk asli dan pendatang/migran), atau antara masyarakat dan perusahaan. Untuk itu, diperlukan adanya policy dan safeguard yang diterapkan oleh perusahaan. Pada pengelolaan Hutan Harapan, policy dan safeguard yang diadopsi adalah berdasarkan Introduction to Conservation and Human Rights for Birdlife Partners, dan Human Rights and Social Engagement Commitment (HARSEC) 2015.”Ini penting karena satu kebijakan akan diikuti oleh birokrasi, sumber daya manusia, dan pembiayaan yang harus disiapkan perusahaan untuk memastikan semuanya on track,” katanya.

Mangara menuturkan, untuk mengurangi dan meminimalkan konflik, perusahaan juga mengembangkan prosedur dan manual termasuk misalnya SOP PM (standard operating procedure participatory mapping), dan SOP pengakuan atas hak dan pengelolaan kawasan oleh masyarakat adat, Biasanya pendekatan resolusi konflik lebih dikedepankan karena memiliki pengaruh positif terhadap citra perusahaan, namun bila tidak berhasil perusahaan bisa menempuh jalur litigasi. Selain itu, mediasi juga diperlukan tak hanya melalui komunikasi formal tetapi juga melalui komunikasi informal. “Gakkum merupakan pilihan terakhir bagi penanganan konflik lahan,” katanya. Dari waktu ke waktu tantangan konflik ini juga semakin tinggi karena jumlah penduduk semakin bertambah sementara lahan tetap.

Konflik juga kerap terjadi ketika kepentingan bisnis berbenturan dengan kepentingan konservasi. Inipun bisa dilihat di lanskap kerja Tropenbos Indonesia di kawasan gambut Lanskap Pelang, Ketapang, Kalimantan Barat di mana terdapat tiga izin Hutan Desa, yaitu Hutan Desa Sungai Pelang, Sungai Besar, dan Pematang Gadung. “Keberadaan Hutan Desa Pematang Gadung, misalnya, seringkali masih dianggap sebagai penghalang bagi perluasan penambangan emas illegal yang beroperasi di kawasan ini,” kata Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia.

Sementara itu, Gamin, Widyaiswara Ahli Madya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan paparan mengenai penyelesaian konflik Perhutanan Sosial melalui pemetaan partisipatif dan mencontohkan sejumlah penyelesaian konflik melalui pemetaan partisipatif berdasarkan pengalamannya memetakan konflik di Sumatra Selatan, Jawa Barat, Kalimantan dan NTB. Sedangkan Hery Santoso, Konsultan Agraria dan Perhutanan Sosial, yang juga telah beberapa kali hadir sebagai pemateri dalam webinar series TI, kali ini memberikan paparan berjudul “Redistribusi Kontrol Atas Area, Tanaman, dan Tenaga Kerja Dalam PS: Konflik Kepentingan Antara Masyarakat dan Negara”.

Webinar series “Mengelola Yang Tersisa” bertajuk “Belajar Menyelesaikan Konflik Hutsos” ini berlangsung pada Sabtu 24 Juli 2021 dengan diikuti oleh lebih dari 400 peserta.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: