Komitmen kolaboratif untuk Rencana Aksi KEE Ketapang

Komitmen kolaboratif untuk Rencana Aksi KEE Ketapang

Indonesia - 14 September, 2021

Sebagai bagian dari upaya perlindungan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang menerapkan praktik pengelolaan terbaik secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, rumusan rencana aksi KEE Ketapang yang sempat tertunda akibat pandemi covid-19 kembali siap disempurnakan. Untuk membahas hal ini, Tropenbos Indonesia bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar menyelenggarakan diskusi pada Selasa, 8 September 2021 lalu yang dihadiri oleh sekitar 37 perwakilan dari berbagai lembaga termasuk dari instansi pemerintah, LSM, dan sektor swasta.

Pada kesempatan ini, perusahaan kelapa sawit PT Kayong Agro Lestari (KAL) dari ANJ Group memaparkan mengenai rencana pengelolaan kawasan KEE nya untuk tiga tahun mendatang di mana perusahaan telah mengalokasikan 3.844 ha atau sekitar 23,7 persen dari wilayah konsesinya sebagai KEE. Menurut Nardiyono, staf PT KAL, pengelolaan KEE perusahaan berfokus pada pengelolaan kualitas lingkungan dan jasa lingkungan di dalam perkebunan, inventarisasi keanekaragaman hayati, patroli dan pemantauan, pelestarian spesies dan pemulihan keanekaragaman hayati, peningkatan kesadaran masyarakat, dan pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Perusahaan juga menitikberatkan pada pendidikan generasi muda dan anak sekolah sebagai kader konservasi masa depan. Nardi mengatakan bahwa pendidikan masyarakat tentang lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan juga selalu menjadi bagian dari agenda perusahaan, termasuk pengembangan ekowisata dimana mereka memperkuat kelompok ekowisata desa terdekat Pokdarwis bekerja sama dengan Tropenbos Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan sinergi pengelolaan Kawasan NKT perusahaan, Hutan Desa Manjau, dan Taman Nasional Gunung Palung sebagai tujuan ekowisata.

Saat ini populasi orangutan di kawasan HCV PT KAL diperkirakan mencapai 6 orangutan per km2, yang menurut Nardi sudah cukup padat. Namun, angka tersebut hanyalah perkiraan dan perusahaan telah mengalokasikan 7,5 ha area perkebunan sebagai koridor satwa liar sehingga pergerakan orangutan tidak terhambat dan mereka tidak lagi terisolasi di kawasan ini. Keberadaan orangutan di kawasan ini juga membuat para mahasiswa dari dalam dan luar negeri tertarik untuk melakukan penelitian dan kawasan ini juga sudah menjadi tempat pelepasliaran orangutan, dimana sampai saat ini sudah ada 11 orangutan yang dilepasliarkan di sini.

Nardi mengatakan, perusahaan mendorong penerapan pengelolaan berbasis lanskap, di mana kemitraan dan sinergi dengan berbagai pihak perlu dibangun. “Dalam jangka pendek diharapkan dapat memperkuat stabilitas kawasan dan memperkuat kelembagaan, dalam jangka menengah mengembangkan fungsi eko-edukasi dan ekowisata, dan dalam jangka panjang mengembangkan keberlanjutan pendanaan dan jaringan kerja sama,” ujarnya.

Komitmen untuk mendukung KEE juga datang dari PT Mohairson Pawan Khatulistiwa (MPK) sebagaimana diungkapkan oleh Hari Hani, General Manager PT MPK di mana perusahaan telah merencanakan untuk menerapkan silvikultur pada multi-usaha kehutanannya yang meliputi kawasan seluas 30.000 ha, di mana sekitar 7.000 ha diantaranya akan digunakan untuk penanaman tanaman non kayu dan agroforestri. “Kami fokus mengelola kawasan ini terutama untuk melindungi dari kebakaran hutan,” katanya. PT MPK juga bekerja sama dengan PT KAL dan BGA Group untuk melindungi kawasan dari kebakaran hutan dan kegiatan ilegal lainnya.

Di tengah berbagai komitmen yang mendukung KEE, perusahaan tambang PT Laman Mining menyampaikan keberatannya atas penetapan wilayah smelternya sebagai KEE oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dwi Fauzan, perwakilan dari PT Laman Mining menuturkan, saat ini perusahaan mengalami kesulitan untuk mengembangkan proyek smelternya karena adanya penetapan sebagai KEE. “Tidak semua area kami keberatan, tetapi pada area yang menjadi area inti smelter. Menurut hemat kami, sinergitas PT LM dengan rencana lingkungan/pelestarian orangutan bisa berjalan seiring sejalan,” katanya. Bila proyek smelter ini berhasil terlaksana perkembangan ekonomi nasional akan meningkat, yang juga akan meningkatkan ekonomi daerah. “Area inti ini sudah kami siapkan sejak 2012 dengan studi kelayakan dan studi banding, dan izinnya bahkan sudah ada sebelumnya sehingga kami berharap ada peninjauan ulang terhadap kawasan ini,” tambahnya.

Terkait hal tersebut, Nur Fadly dari Bappeda Ketapang mengatakan, penerbitan KEE dilakukan setelah izin diberikan kepada Laman Mining dan juga sudah ada Perpres tentang pentapan proyek strategis nasional seperti smelter yang akan dibangun oleh Laman Mining di kawasan ini. Jadi, menurutnya, ada kemungkinan terjadinya dinamika pembangunan dan perkembangan kawasan di masa depan. “Kalau ada rencana lain, bisakah bersinergi? Bisakah hal-hal lain juga dilakukan di kawasan ini?” katanya. Tampaknya komunikasi dan koordinasi akan sangat penting untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara berbagai pihak.

Marius Marcelius, mantan Kepala Dinas Kehutanan Kalbar menyatakan, kajian lebih lanjut penting dilakukan untuk kawasan yang masih menjadi konflik. Meski izin rencana pembangunan smelter telah diperoleh, namun perlu dilakukan kajian lebih lanjut karena jika lahan gambut di kawasan ini memiliki kedalaman lebih dari 3 m, maka memang seharusnya menjadi bagian dari kawasan yang dilindungi.

Pada akhir diskusi, Albertus Agung Kalis, S.Hut, dari Dinas LHK Kalbar menyimpulkan bahwa sementara forum akan terus berlanjut dengan penyempurnaan rumusan rencana aksi, keberatan dari Laman Mining juga akan menjadi pertimbangan dan diskusi lebih lanjut perlu menjadi agenda meski dilaksanakan secara terpisah. Solusi terbaik juga perlu ada mengingat pembangunan proyek strategis nasional perlu dilaksanakan, namun di sisi lain komitmen terhadap perlindungan kawasan ekosistem esensial juga perlu tetap dijaga.