Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#22 Menyelesaikan Sawit di Kawasan Hutan

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#22 Menyelesaikan Sawit di Kawasan Hutan

Indonesia - 31 August, 2021

Secara historis produk agrokomoditas di kawasan hutan, termasuk sawit, cenderung tidak terselesaikan bahkan ada preseden pembiaran sehingga masyarakat mengalami marginalisasi dan bahkan ada yang kemudian mengalami kriminalisasi. Beberapa peraturan yang ada pun tampaknya belum cukup efektif atau bahkan tidak memberikan jawaban atau penyelesaian. Itulah yang diingatkan kembali oleh Direktur Tropenbos Indonesia sebagai pengantar dalam webinar bertajuk “Menyelesaikan sawit di kawasan hutan” yang berlangsung pada 28 Agustus 2021 dan diikuti oleh sekitar 500 peserta dari berbagai kalangan.

Diah Y. Suradiredja, Penasehat Senior SPOS Indonesia, Yayasan KEHATI mengatakan, “Pembahasan sawit di dalam kawasan hutan ini baru memperoleh titik terang setelah keluarnya UUCK.” Tidak seperti penyelesaian konflik lainnya, menurutnya penyelesaian sawit ini memang tidak mudah karena sawit masyarakat ada yang telah berumur di atas 30 tahun dan ini membuktikan adanya pembiaran yang luar biasa selama ini. Pasca UUCK No.11/2020, barulah ada dasar penyelesaian yang tergantung pada tipologi kasusnya, baik untuk pola penyelesaian usaha perkebunan yang berizin maupun tidak berizin. “Sanksi administratif yang berlaku terhadap usaha perkebunan yang tidak berizin dipilah secara detail dalam UUCK ini,” kata Diah. Ini termasuk penghentian sementara kegiatan usaha atau keharusan membayar denda. Namun, pengecualian terhadap sanksi tersebut diberikan kepada masyarakat yang sudah bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan selama setidaknya 5 tahun dan luas lahannya tidak lebih dari 5 ha.

Pertanyaan yang masih perlu dijawab dalam implementasi dasar peraturan UUCK ini, menurut Diah, adalah seberapa lengkap pemerintah memiliki data kebun tanpa izin di dalam kawasan hutan, berapa yang luasnya lebih atau kurang dari 5 ha, lalu bagaimana data yang lengkap dapat dibangun untuk mengidentifikasi persoalan serta penyelesaiannya, dan yang tak kalah penting adalah jangka benah serta apa yang harus disiapkan untuk melaksanakan jangka benah itu. “Bila pemerintah memutuskan kawasan tersebut tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, mau tak mau harus ada tahapan untuk mengembalikan sawit yang sudah terlanjur dalam kawasan hutan kembali kepada fungsi hutan,” katanya. Persiapan pelaksanaan jangka benah ini termasuk meliputi sumber daya manusia, dukungan finansial, pendukung di tingkat desa hingga pusat, maupun sistem insentif dan disinsentif.

Menurut Hero Marhaento, Dosen dan Ketua Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada yang memberikan presentasi berjudul “Strategi operasionalisasi Sistem Jangka Benah di lapangan”, jangka benah ini menjadi salah satu instrumen yang diwajibkan dan ditetapkan melalui PP 23/2021 dan PP 24/2021 yang merupakan turunan UUCK dengan tahapan implementasi 12 tahun, yang pilihannya meliputi pengenalan agroforestry atau kebun campur sebelum beranjak pada tahap selanjutnya menuju hutan sekunder.

“Ketika pada 1970-an kelapa sawit yang merupakan tanaman asli Afrika ini diperkenalkan di Indonesia sebagai pengentas kemiskinan, pemerintah memberikan sejumlah insentif supaya produksinya tinggi dan bisa segera meningkatkan perekonomian,” kata Hero. Karenanya, pada 1980an itu pemerintah memberikan sejumlah kemudahan seperti pelepasan lahan, fasilitas kredit bunga rendah, PIR, maupun program transmigrasi untuk pemerataan tenaga kerja. Sejak itu pula kelapa sawit telah menjadi motor pembangunan, dimana menurut data BPS 2017, kebun kelapa sawit di Indonesia 40% dikelola oleh petani kecil. Hero juga mengutip data PASPI, 2014 yang menyebutkan bahwa untuk setiap kenaikan harga CPO sebesar 1% angka kemiskinan turun sebesar 0,7%. “Secara angka, kelapa sawit menjadi komoditas andalan negara dan berkontribusi besar pada devisa,” kata Hero.

Namun ketika sawit kemudian ditanam besar-besaran, muncullah masalah lingkungan. Kelapa sawit akhirnya menjadi paradox pembangunan yang dituding sebagai biang keladi berbagai persoalan lingkungan seperti berkurangnya ketersediaan air, terjadinya kebakaran hutan yang berdampak pada hilangnya biodiversity, konflik dengan satwa liar, maupun kabut asap yang kemudian menjadi trans-boundary haze disaster. Menurut Hero, pesan ini kemudian berujung pada geopolitik berupa ancaman pelarangan kelapa sawit, ataupun munculnya tuntutan dari para aktivis lingkungan di Eropa agar jangan menggunakan kelapa sawit.

Hero sepakat bahwa persoalan keterlanjuran sawit di dalam hutan merupakan persoalan yang serius. “Kita dihadapkan pada kondisi keterlanjuran atau ekspansi sawit, yang masuk ke dalam kawasan hutan. Dari 16,4 juta ha tutupan kelapa sawit nasional, 3,4 juta ha nya berapa di dalam kawasan hutan. Karena itu, menurutnya, aneka tudingan terhadap kelapa sawit itu tidak sepenuhnya salah. Di Kalimantan Tengah, misalnya, luas kawasan sawit tidak berizin (illegal) lebih besar daripada luas kawasan sawit yang berizin (legal). Ini menunjukkan adanya persoalan, yang ternyata tidak semuanya merupakan domain rakyat karena 78% diantaranya ternyata merupakan ekspansi dari korporasi, sedangkan sisanya yang 22% merupakan domain rakyat.

Saat ini, Hero menjelaskan, secara peraturan, pendekatan yang dilakukan dalam menghadapi keterlanjuran adalah koersif melalui penegakan hukum. Lalu bagaimana dengan sawit rakyat? Biasanya masyarakat masuk ke hutan atau memperluas lahannya karena didasari ketidaktahuan akan batas kawasan hutan dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, Inpres No.8/2018 menegaskan bahwa pemerintah fokus pada peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat dan mengamanatkan untuk memperjelas status kepemilikan lahan. Ditambah dengan adanya UUCK yang memberikan ruang terhadap penyelamatan investasi rakyat, peluang untuk mengakhiri polemik keterlanjuran inilah yang kemudian memunculkan strategi jangka benah (SJB) sebagai salah satu alternatif solusi untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terlanjur rusak, termasuk akibat keterlanjuran sawit rakyat di kawasan hutan.

Sebagai pembicara terakhir dalam webinar ini adalah Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono yang memberikan paparan mengenai kebijakan penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan. Ia menjelaskan berbagai hal terkait kebijakan, termasuk yang ternyata turut menjadi latar belakang terjadinya keterlanjuran sawit di dalam hutan, masalah dan tipologi, kronologis upaya penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan baik yang berizin maupun tidak berizin, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun oleh masyarakat, dan masih banyak lagi.

Satu hal yang berulangkali ia tekankan adalah bahwa pemerintah memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap masyarakat yang saat ini menjadikan sawit sebagai sumber mata pencahariannya. Melalui UUCK misalnya, dapat dilihat betapa pemerintah sangat berpihak kepada masyarakat dan mengikutsertakan masyarakat dalam kebijakan penataan kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial dan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Pemerintah, menurutnya, juga tidak pernah meninggalkan amanat TAP MPR IX 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dimana Pasal 3 menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta Pasal 4 menyebutkan bahwa negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “UUCK juga menjadi bagian penting untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dan menjamin warga negara memperoleh pekerjaan. Apakah kalau seperti ini sawit-sawit yang telah ada di kawasan hutan harus dihancurkan atau tidak boleh lagi beroperasi?” tanyanya.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: