Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#23 Masyarakat, Hutan, dan Negara - Setengah Abad Perhutanan Sosial di Indonesia

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri#23 Masyarakat, Hutan, dan Negara - Setengah Abad Perhutanan Sosial di Indonesia

Indonesia - 11 October, 2021

Mengangkat tema mengenai “Masyarakat, Hutan, dan Negara – Setengah Abad Perhutanan Sosial di Indonesia”, serial webinar Tropenbos Indonesia kali ini terasa istimewa karena menandai setahun berlangsungnya acara ini secara rutin dan adanya pembahasan buku berjudul serupa, yaitu “Masyarakat, Hutan, dan Negara”. Acara yang berlangsung 25 September 2021 ini sekaligus menelaah 50 tahun pasca digulirkannya Perhutanan Sosial di Indonesia.

Mengutip isi buku ini, Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal PS dan Kemitraan Lingkungan yang memberikan sambutan pembuka dalam acara ini mengatakan, setidaknya ada tiga dekade yang telah dilalui Perhutanan Sosial di Indonesia, yaitu dekade 1970-1990, 1990-2015, dan 2015-sekarang. Dekade yang pertama sebetulnya merupakan “hutan untuk masyarakat”, dimana masyarakat di sekitar hutan yang sangat bergantung pada hutan berhak mendapatkan kesejahteraan social, meski pada dekade ini keberpihakan yang besar justru diberikan terhadap korporasi yang ditandai dengan munculnya banyak perusahaan HPH maupun HTI. Dari pihak masyarakat sendiri kemudian muncul pula elit-elit baru di tingkat desa sehingga aneka masalah termasuk masalah tenurial semakin meruyak.

Pada dekade berikutnya, mulai ada lembaga-lembaga hutan yang berbadan hukum, meski masih marak pula aneka rente dan tidak ada penyelesaian masalah tenurial sehingga kepentingan masyarakat masih belum ada yang memperjuangkan. “Dua periode ini memerlukan penyempurnaan dengan program yang lebih terintegrasi,” kata Bambang.

Barulah pada dekade ketiga, mulai dilakukan pendekatan yang lebih holistik melalui Perhutanan Sosial (PS) dengan 5 skema yang berjangka waktu 35 tahun sehingga diharapkan elit-elit pengambil rente tidak bisa lagi masuk ke dalam struktur untuk mendapatkan PS. “Petani memperoleh pendampingan untuk meningkatkan kapasitas, kearifan lokal masyarakat bisa ditingkatkan, selain penguatan kelembagaan juga ada penguatan pasar dan sentra produksi,” katanya. Kini, ruang dan waktu juga tidak lagi menjadi penghalang berkat dukungan teknologi, sehingga pendampingan masyarakat bisa dilakukan secara daring dan luring. Mendagri bahkan telah memberikan surat edaran kepada para gubernur dan bupati di seluruh wilayah nusantara untuk memasukkan program PS di dalam APBD masing-masing.

Menurut Hery Santoso, penulis buku ini bersama Edi Purwanto, alih-alih menjadi ensiklopedi lengkap yang belum tentu dibaca, buku ini diniatkan sebagai semacam snapshot yang meski tak terlalu lengkap tetapi bisa mewakili secara keseluruhan dari perjalanan panjang 50 tahun PS di Indonesia. Bab pendahuluan dari 7 bab yang ada di dalam buku ini, dimulai dengan narasi mengangkat tentang perlawanan kaum Samin di Jawa yang berakar dari masalah hutan karena menurutnya, “Bila melihat ke belakang, hubungan antara masyarakat, hutan, dan negara, memang banyak diwarnai ketegangan-ketegangan terutama ketika insitusi negara hadir untuk mengkonsolidasikan sumber daya alam, khususnya sumber daya hutan.”

Sebelum munculnya PS, menurut Hery, berbagai model kehutanan masyarakat dalam bentuk kebun campur atau agroforestry sebetulnya juga telah berkembang di seluruh Indonesia. Simpul, tembawang, repong, dan sebagainya telah diterapkan jauh sebelum target PS diluncurkan pemerintah. “Dengan sudah dimulainya PS oleh masyarakat, investasi dari masyarakat ini dapat menjadi kekuatan besar dibanding bila pemerintah harus memulainya dari tanah kosong,” katanya.

Namun terkait formalisasi tenure, menurut Hery, pada tahap-tahap awal PS, ternyata tidak mudah untuk mendapatkan perizinan 35 tahun. Izin jangka panjang baru bisa diperoleh sejak 2007, itupun setelah melalui proses advokasi panjang dan melewati proses politis. “Setelah PS dikeluarkan dengan target strategis nasional 12,7 jt ha, PS kemudian booming dan menjadi pilar utama intensifikasi oleh negara,” katanya. Contoh model pengelolaan PS yang berhasil adalah Kalibiru di Jogjakarta seluas 27 ha. “Selain ada penguatan kelembagaan, penambahan pendapatan/perbaikan ekonomi, ternyata ada pula hal lain seperti konflik tenurial,” kata Hery.

Salah satu bab dalam buku ini juga membahas secara spesifik hasil studi Tropenbos Indonesia di Kalimantan Barat, yang menemukan adanya mismatch di mana wilayah-wilayah PS ternyata banyak yang tidak sesuai untuk perbaikan ekonomi masyarakat pasca izin karena letaknya yang jauh dari pemukiman, kemiringan lahan yang curam dan sulit diakses, dan berbagai alasan lain.

Menurut Christine Wulandari, Ketua Program Studi Magister Kehutanan, Universitas Lampung, “Pengelolaan wilayah PS yang lengkap dan berkelanjutan akan memastikan sinergi dan meminimalkan trade-off yang saling bertentangan antara tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi.” Di dalam pengelolaan PS, platform para pemangku kepentingan memberikan ruang untuk saling berbagi informasi, mengembangkan pemahaman bersama tentang berbagai masalah, menegosiasikan proses, hasil dan mekanisme kerja yang disepakati dalam memutuskan dan melaksanakan rencana aksi untuk mengelola sumber daya hutan.

Selain itu, Christine juga mengingatkan pentingnya untuk melihat aspek gender. Meski perempuan berperan dalam membuat sejarah bergulir, aspek egaliter dan budaya lokal sering berpengaruh terhadap munculnya disparitas tinggi dan PS, menurutnya, belum sepenuhnya mendorong kesetaraan. Masalah lain adalah belum memadainya fasilitator lapangan yang juga memliki konsep dan pemahaman untuk memajukan kelompok. “Perlu ada peningkatan kapasitas dan uji kelayakan untuk mengetahui apakah mereka sesuai sebagai pendamping,” katanya.

Sementara itu, menurut Rudi Syah, Direktur KKI Warsi, meski penulis buku ini melihat masyarakat di sekitar hutan masih miskin, kearifan lokal kian tergerus, ada eksploitasi, dan dominasi pemegang kekuasan masih begitu besar terhadap pengelolaan sumber daya alam, berdasarkan pengalaman WARSI mendampingi masyarakat di sekitar hutan masih terlihat adanya masyarakat yang mengelola sumber daya alamnya dengan rambu-rambu kearifan, seperti hutan larangan, imbo ulu aek, imbo pusako, imbo prabukalo, tanah bedewo, dan sebagainya. Ia juga melihat bahwa CSO bisa berperan penting dalam mendorong masyarakat untuk bisa terlibat dalam mengelola hutan dan mempertahankan sumber daya alamnya. “Justru kawasan yang dikelola dengan baik oleh masyarakat yang seharusnya memperoleh legalisasi PS. Ini bisa menjadi peran CSO untuk ke depan bisa menyelamatkan apa yang dicemaskan penulis buku ini,” katanya.

Rudi melihat, tantangan PS saat ini adalah mendorong pengelolaan PS oleh kolaborasi multisektor, mewaspadai korporasi yang ingin memanfaatkan PS terutama pasca UUCK, menguatkan dukungan konkrit dan nyata bagi masyarakat pengelola hutan, dan mendorong lahirnya regulasi yang berkeadilan bagi masyarakat untuk mengelola dan mengakses manfaat hutan secara langsung. Ia mencontohkan perkembangan menarik 4 hutan nagari di Sumatera Barat yang berhasil meningkatkan tutupan hutannya setelah mendapat izin hutan nagari. “Analisa citra satelit lansat TM, tutupan PS di Sumbar meningkat 466 ha (2017-2020),” katanya. Ia berharap, tempat lain yang memperoleh izin PS juga bisa mencatat keberhasilan seperti ini.

Menurut Rudi, beberapa perbedaan yang ia lihat dari apa yang ditulis di dalam buku ini dengan apa yang ia temukan di lapangan adalah bahwa PS ternyata mampu memberikan dukungan dan menjadi pengentas kemiskinan bila dikelola dengan tepat. Ia mencontohkan berkah karbon Bujang Raba, di mana zero deforestasi dan tidak terjadinya perusakan oleh masyarakat membuat kawasan ini berhasil masuk ke dalam skema karbon dan mendapat hibah dalam kerangka imbal jasa lingkungan dengan menghitung karbon yang bisa dijaga di kawasan ini (PES).

Catatan lain yang disampaikan Rudi adalah tantangan PS yang dibuka lebar untuk bermitra dengan korporasi. Masuknya korporasi dengan pola kemitraan bekerja sama dengan pemegang izin PS ini menurutnya riskan karena siapa yang memiliki kekuatan lebih besar biasanya lebih berkuasa. Operasional perusahaan yang terbatas membuat peluang PS ini bisa menjadi ajang perebutan ruang untuk kepentingan profit sehingga untuk HTR dan HKm, misalnya, muncul kapitalis baru dimana perusahaan berusaha merangkul pemegang izin PS. “Ini yang saya lihat terjadi di lapangan. Di Jambi, misalnya, 6 HTR dan 1 HKm sudah masuk dalam fenomena ini, dimana korporasi menjadi pelaku PS tetapi ada di belakang masyarakat,” katanya.

Hadir pula dalam webinar ini Soni Trison, Dosen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, yang menyampaikan bahwa kebijakan pengembangan PS memerlukan dimensi lebih luas termasuk pembangunan agroforestry baik dari sisi kuantitas, kualitas, maupun kontinyuasi. Pendampingan pemberdayaan masyarakat juga memerlukan peningkatan melalui kelola kelembagaan, kelola kawasan, kelola usaha. “Ini PR besar untuk bisa mewujudkan PS agar memiliki manfaat yang signifikan dan berperan bagi kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: