Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri#24 NGO dan Tata Kelola SDA

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri#24 NGO dan Tata Kelola SDA

Indonesia - 05 November, 2021

Mengelola sumber daya alam perlu melibatkan peran serta berbagai pihak, termasuk NGO. Sebagai lembaga non pemerintah, NGO telah berperan serta dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia selama ini. Namun sejauh mana NGO berperan dalam pengembangan good governance di bidang pengelolaan sumber daya alam, sejauh mana ia berhasil mengarusutamakan agenda masyarakat sipil dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta melestarikan sumber daya rentannya ataupun melindungi keanekaragaman hayati yang hampir punah, mengurangi dampak negatif industri ekstraktif dan perluasan perkebunan monokultur atau berperan dalam konstelasi geopolitik global? Itulah diantaranya bahan diskusi serial webinar Tropenbos Indonesia ke-24 yang bertajuk “NGO dan Tata Kelola Sumber Daya Alam” yang berlangsung 9 Oktober 2021 lalu dan diikuti oleh sekitar 400 peserta.

Saat berbagi sejarah perjalanan Tropenbos Indonesia dalam kurun 35 tahun eksistensinya, Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto menjelaskan, banyak hal yang telah dilakukan TI dalam berperan serta mengelola sumber daya alam di Indonesia. Mengawali kegiatannya di Kalimantan Timur dan lebih banyak berkaitan dengan silvikultur, rekam jejak TI masih ada sampai sekarang yaitu Herbarium Wanariset Samboja. Pada era selanjutnya, peran TI yang cukup penting adalah dalam mengarusutamakan HCV, mulai dari penyusunan toolkit interpretasi nasional, mendukung HCVRN dalam penyusunan panduan HCV dengan pendekatan lanskap/jurisdiksi, dan yang kini masih berlangsung adalah mendorong implementasi KEE, memfasilitasi perbaikan tata kelola sumber daya alam, dan mendorong perbaikan mata pencaharian masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Terkait KEE ini, menurut Edi, peran NGO sangat penting baik dalam mengidentifikasi area yang merupakan KEE maupun membentuk forum multi-pihak yang dapat menggandeng dan melibatkan semua pihak yang ada di dalam lanskap tersebut untuk bersama-sama merencanakan, mengawasi, dan mengelola KEE.

Menurut Dicky Simorangkir, pakar konservasi yang telah lama berkecimpung di NGO, pada masa lalu kerja sama NGO dengan pihak swasta maupun pemerintah belum terjalin seperti sekarang. “Yang ada kecurigaan satu sama lain,” katanya. Perusahaan kerap dituding sebagai aktor atau dalang kerusakan alam melalui kegiatan eksploitasinya. Pemerintah sering dianggap sebagai tidak bersih, pasif, dan sarat dengan kepentingan politik, sementara banyak LSM yang dianggap sebagai provokator dan trouble maker. Tetapi dalam 20 tahun terakhir, menurutnya, hubungan ketiga pihak ini mengalami transformasi yang cukup signifikan. Ada komunikasi yang cukup intensif dan berbuah kerja sama yang semakin erat. Contohnya, sekarang ini semakin banyak perusahaan yang meminta bantuan LSM untuk mendampingi mereka dalam proses sertifikasi produknya, atau permintaan TN kepada LSM untuk membantu monitoring perburuan satwa liar dan bahkan membantu kegiatan penegakan hukum yang dilakukan.

Ini berbeda dengan di masa lalu dimana misalnya saat konsep HCV mulai diperkenalkan, tidak semua pihak bisa langsung menerima, baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Namun sekarang, HCV telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah dan perusahaan meski melalui proses panjang yang lama. Tampaknya semua pihak menyadari, peran dan fungsi yang berbeda justru bisa bersinergi menjadi kekuatan bersama. “Kesadaran para pihak semakin tinggi bahwa kegiatan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tetapi harus secara komprehensif dan holistik,” katanya. Dicky melihat, saat ini banyak LSM mengambil peran sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah, bukan lagi seperti di masa lalu, dimana LSM hanya dianggap mewakili suara masyarakat.

Menurut Aida Greenbury, Direktur Mitra Putri Hijau Pty Ltd Sustainability Advisory, meski perusahaan berorientasi profit, keberlanjutan harus menjadi perhatian perusahaan karena pilar perusahaan tak hanya dari segi ekonomi tetapi juga lingkungan dan social. Untuk itu, kerja sama dengan LSM lingkungan hidup maupun LSM sosial diperlukan. Praktik berkelanjutan penting ditaati oleh perusahaan karena berkaitan dengan penerimaan pasar terhadap produk yang dihasilkan. Kadangkala, meski perusahaan telah mematuhi kebijakan pemerintah, produk mereka masih ditolak pasar luar negeri karena dianggap menyebabkan deforestasi. Ini bersumber dari ketidakpercayaan luar negeri terhadap produk Indonesia yang tampaknya diperparah oleh indeks persepsi korupsi di Indonesia yang berada di peringkat 102 dari 180 negara (2020). Menurut barometer korupsi global, 92% responden meyakini bahwa korupsi pemerintah di Indonesia merupakan masalah besar. Kondisi inilah yang membuat perusahaan semakin merasakan perlunya menggandeng LSM, untuk dapat lebih memahami persepsi pihak lain yang berbeda.

Untuk menggandeng NGO yang kredible, 3 hal yang dapat menjadi pertimbangan, menurut Aida adalah kesamaan pemikiran sebagai dasar awal negosiasi, aturan main yang jelas, dan definisi yang jelas dan disepakati bersama, misalnya tentang definisi deforestasi yang menurutnya terus berkembang dari waktu ke waktu. Komitmen perusahaan terhadap NDPE (no deforestation, no peat, no exploitation), misalnya, termasuk yang memerlukan pengawasan dari NGO untuk memastikan perusahaan memang benar melakukan apa yang menjadi komitmennya, seperti tidak lagi membuka hutan alam, melindungi kawasan gambut, dan melaksanakan konservasi dan penilaian serta pengelolaan HCV dan HCS, yang juga merupakan salah satu kunci penghentian deforestasi. “Perusahaan tidak hanya sekedar klaim tetapi memang ada pihak lain yang mengawasi,” katanya.

Aida mengingatkan, kerja sama dengan LSM memerlukan kepercayaan dan transparansi. “Sebisa mungkin kerja sama dengan LSM tidak komersil, karena bila ada uang yang terlibat, LSM pun bisa menjadi bias,” katanya. Jangan sampai bila perusahaan berbuat kesalahan, LSM nya kemudian malah menutupi. Kedua pihak juga harus benar-benar independen satu sama lain dan tidak ada salah satu pihak yang mengontrol pihak yang lain. Perusahaan juga perlu memiliki pemimpin yang baik yang menyadari bahwa biaya keberlanjutan merupakan investasi bagi kelangsungan perusahaan. Untuk itu, strategi keberlanjutan jangka panjang perlu diterapkan secara transparan dengan menerima masukan berbagai pihak termasuk dari NGO. “Mungkin biayanya sekitar US$100 – 350 juta per tahun untuk menyelamatkan planet, tetapi tanpa upaya bersama, tidak akan ada yang tersisa untuk diselamatkan,” katanya.

Haryanto R. Putro, Staf Pengajar di Departemen Konservasi dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB mengatakan, NGO merupakan lembaga demokratis dimana fungsinyapun didasarkan pada aturan-aturan demokratis. Sebagai lembaga yang independen dari pemerintah, NGO membawa mandate konstituennya dan berperan dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Meski bersandar pada pekerjaan sukarela dan keterlibatan peran aktivis, kadangkala NGO juga mempekerjakan tenaga professional untuk mendukung kegiatannya. “Ideologinya beragam, bentuk organisasinya beragam, sumber pendanaannya pun beragam (pemerintah, public fund (donor/konstituen), swasta),” katanya. Menurut data Kementerian Dalam Negeri 2019, jumlah Organisasi Massa di Indonesia mencapai 431.465 dengan beragam bentuk dan LSM internasional terbanyak di Indonesia adalah di bidang lingkungan.

Dari berbagai penelitian, menurut Edelman Trust Barometer Indonesia , tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM sempat mengalami penurunan pada 2016-2017 dari 64% menjadi 57% meski naik lagi pada 2019 menjadi 67%. Namun ternyata, untuk konteks Indonesia, LSM saat ini tidak lebih dipercaya dibanding pemerintah, swasta, dan media massa. Selain itu, pada banyak LSM terjadi pula distorsi ideologi akibat ketergantungan pendanaan baik dari pemerintah, swasta maupun publik. “Kalau tidak hati-hati, jangan-jangan kinerja LSM adalah kinerja donornya,” kata Haryanto. Tak heran bila transparansi, akuntabilitas, legitimasi, dan representasi ini kerap menjadi persoalan. “LSM seringkali mendorong transparasi, tetapi ketika diminta untuk transparan seringkali lari, ini pengalaman saya di berbagai isu multi-pihak,” tambahnya.

Haryanto mengutip tulisan Hariyadi Kartohardiprojo yang dipublikasikan di forestdigetst.com (2020), sejak 2016, LSM di Indonesia dan para aktivisnya dibawa ke gerbong politik pemerintah sehingga implikasinya adalah melemahnya kontrol terhadap pemerintah. Meski ada yang mengatakan hal tersebut tidak masalah, ada pula yang mengatakan hal tersebut bisa menyebabkan bias karena kepentingan publik bisa dikalahkan padahal membawa misi keadilan, pemerataan manfaat, dan sebagainya. Haryanto berpesan agar di masa depan, LSM melakukan perubahan cara pikir dari assertif ke integrative, dari rasional menjadi intutitif, dari analisis menjadi sintesis, dari reduksionis menjadi holistis, dan dari linier menjadi non linier. Selain itu diperlukan pula perubahan nilai dari eksistensi diri ke integrative, dari ekspansi ke konservasi, dari kompetisi ke kooperasi, dari kuantitatif ke kualitatif, dan dari dominasi ke kemitraan.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: