Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #25 Mendorong Bambu Menuju Komoditas Milenial dan Global

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” Seri #25 Mendorong Bambu Menuju Komoditas Milenial dan Global

Indonesia - 06 November, 2021

Sebagai salah satu jenis tanaman yang tumbuh dengan baik di Indonesia, bambu dapat ditemui dalam bentuk aneka produk yang digunakan sehari-hari mulai dari kerajinan tangan, perabot rumah tangga, bahkan hingga tekstil dan energi. Bambu yang telah diawetkan dapat menjadi bahan konstruksi yang mampu bertahan hingga 30 tahun, dan mampu menyerap karbon hingga mencapai 50-100 ton/ha/tahun. Dengan laju pertumbuhan 50 ton/ha/tahun, bamboo bisa tumbuh di lahan marginal, tahan kekeringan dan dapat berfungsi sebagai penyerap air, pengendali erosi dan memperbaiki sifat fisik tanah sehingga baik digunakan sebagai tanaman restorasi, sekaligus untuk pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan. “Kita perlu memperjuangkan bamboo agar bisa ditanam secara luas untuk restorasi ekonomi dan untuk penyerapan karbon,” kata Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia dalam serial webinar Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” ke-25 bertajuk “Mendorong Bambu Menuju Komoditas Milenial dan Global”. Acara yang diselenggarakan pada 30 Oktober 2021 ini dihadiri oleh 500 peserta dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan pemerintah, swasta, akademisi maupun masyarakat.

Menurut M. Zainal Arifin, Direktur Konservasi Tanah dan Air (KTA), Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Rehabilitasi Hutan (PDAS RH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sudah sejak lama bambu sebetulnya diusulkan untuk menjadi tanaman rehabilitasi dan reklamasi. Tanaman terkait rekayasa vegetative untuk pengelolaan DAS setidaknya memiliki 2 peran, yaitu dalam siklus hidrologi sebagai pelindung mata air serta pencegah tanah longsor dan penjaga stabilitas lereng. Bambu sesuai sebagai “pohon sahabat air”, yang diantara sejumlah kriterianya adalah mampu mempengaruhi proses infiltrasi air ke dalam tanah, menjaga keseimbangan air lahan dan melindungi kelestarian mata air. “Bambu termasuk tanaman yang memenuhi semua kriteria tersebut,” tegas Zainal.

Sayangnya, sampai saat ini bamboo belum termasuk sebagai jenis tanaman yang digunakan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi karena bambu bukan tergolong tanaman berkayu, melainkan salah satu dari 650 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Akibatnya, kebijakan terkait pengeloaan HHBK juga melekat pada bambu, termasuk bahwa HHBK tidak bisa berperan dalam kegiatan reklamasi dan rehablitasi. Namun demikian, KLHK telah coba melakukan sejumlah intervensi, seperti mengalokasikan 10% target produksi bibit di persemaian permanen untuk jenis bambu, dan memasukkan bambu di dalam kegiatan penanaman di Kebun Bibit Rakyat (KBR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) khususnya di area rawan bencana. KLHK juga telah meluncurkan gerakan penanaman bambu nasional dengan prioritas lokasi di lahan milik masyarakat, tanah rakyat, tanah desa, tanah negara bebas, tanah adat, DTA waduk, sumber mata air, dan kanan kiri sungai. Selain itu, saat ini sedang ada proses revisi peraturan terkait reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS menyesuaikan PP 26 tahun 2020 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang diharapkan dapat memasukkan bambu di dalamnya.

Menurut Desy Ekawati, Project Coordinator Bamboo Agroforestry, Kerja sama KANOPPI 2, Badan Standarisasi Instrumen (BSI) Lingkungan Hidup dan Kehutanan – KLHK, saat ini sudah ada paradigma baru, dimana pengelolaan hutan dan sektor kehutanan bukan hanya dari kayu melainkan juga dari HHBK dan jasa lingkungan, dan bambu merupakan salah satu dari HHBK prioritas dan unggulan nasional (Permenhut No.P35/2007 tentang HHBK dan Permenhut No.P21/2009). Kelebihan bambu dibanding kayu, menurut Desy, adalah cukup ditanam sekali saja, setelah masa panen hasilnya dapat dinikmati setiap tahun, berbeda dengan kayu yang hanya satu kali panen.

Tantangan pengembangan bambu di masyarakat yang paling sering ditemui saat ini adalah anggapan masyarakat bahwa bambu tidak memiliki nilai, “Mereka melihat manfaat ekonominya belum jelas,” kata Desy. Selain itu, sistem pengelolaannya juga belum jelas dan tidak lestari, begitupun proses pengolahan dan usaha dari produk-produk bambu di pasar. Apalagi saat ini juga tidak ada dukungan peraturan dan kebijakan pendukung yang jelas baik di tingkat tapak, daerah, maupun nasional. “Padahal, peluang pengembangan bambu di Indonesia sebetulnya sangat besar karena iklim yang mendukung, seperti sinar matahari sepanjang tahun, curah hujan yang tinggi, tanah vulkanis yang subur, cuaca yang bersahabat sepanjang tahun, dan tenaga kerja yang cukup tersedia,” katanya.

Peluang pengembangan usaha bambu juga beragam, seperti pembuatan produk kerajinan, peralatan dapur, atau perabotan tradisional; atau untuk pulp and paper, serat, atau cristaline. “Untuk menjadikan bambu sebagai komoditas masyarakat salah satunya adalah melalui agroforestri, bisa dikembangkan di dalam kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan LIndung, dan konsesi, maupun di luar kawasan seperti di dearah penyangga, Area Peruntukan Lain (APL), lahan masyarakat, atau Tanah/Hutan Adat,” kata Desy. Pengembangan bambu di dalam kawasan bisa digunakan mekanisme Perhutanan Sosial, KPH, Kemitraan Konservasi, Konsesi Restorasi Ekosistem atau Konsesi IUPHHBK, sementara di luar kawasan bisa dilakukan di buffer zone, dan sebagainya.

Secara historis dan budaya, bambu sudah sangat akrab dengan masyarakat di Indonesia, karena itu seperti Cina yang kini merajai pasar global, pengembangan bambu di Indonesia bisa menuai keberhasilan besar bila juga berbasis masyarakat. Selain memang “community friendly”, budidaya bambu mudah dilakukan, bahkan oleh orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Dalam menerapkan pendekatan desa bambu dengan sistem wanatani atau agroforestri, menurut Desy, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah masyarakat yang tepat, yang sudah memiliki budaya bambu, lokasi yang tepat sehingga bambu bisa tumbuh dengan optimal. Selain itu, pendekatan dan intervensi juga harus tepat dan dilakukan secara terintegrasi dan tersinergi.

Diverisifikasi agroforestri bambu juga dapat berperan sebagai “ATM” bagi masyarakat yang dapat diambil hasilnya secara harian, bulanan atau tahunan sehingga dapat meningkatkan ketahanan desa. Untuk membangun desa bambu, menurut Desy, secara umum tahapannya adalah menyiapkan pembibitan, peningkatan kapasitas misalnya tentang cara memanen dan mengawetkan yang benar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan diantaranya melalui sekolah lapang, penguatan kelembagaan/kelompok masyarakat, penguatan kelembagaan ekonomi dan rencana usaha, penguatan rantai nilai, jaminan pasar, dan dukungan regulasi. Desy mengingatkan, meski pemanfaatan bambu digencarkan, tidak berarti pemakaian bambu dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Untuk itu diperlukan pemanenan yang tepat dan penyediaan bibit yang cukup. Langkah strategis ke depan diperlukan dukungan para pihak dengan sinergi lintas sektor dan dukungan kebijakan dari tapak sampai pusat.

Selain kedua narasumber di atas, tak kalah menarik adalah paparan dari Nur Anisa Shalehah dan Marc Peter dari Bambu Nusa Verde yang menjelaskan tentang bambu yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai komoditas perkebunan skala besar yang menguntungkan dan berkelanjutan. Bambu juga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan beragam dan bahkan tumbuh dengan baik di lahan gambut. Selain itu, IB Putera Parthama dari Yayasan Bambu Lestari memberikan paparan tentang strategi pengembangan industri bambu untuk merealisasikan potensi bambu melalui 1000 Desa Bambu. Dengan target luas minimal 2000 ha, kebun bambu ini bisa dimulai dari lahan-lahan terdegradasi atau yang memang sudah ditumbuhi bambu di atasnya. Dimiliki dan dikelola oleh desa baik melalui koperasi, BUMDes atau usaha kecil, di setiap desa bisa dibangun pabrik kecil untuk pengolahan bahan baku bambu menjadi produk-produk yang lebih bernilai tinggi sebelum dikirim ke tempat lain untuk proses selanjutnya yang mungkin menggunakan teknologi yang lebih modern.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: