Membedah persoalan perempuan melalui FPAR

Membedah persoalan perempuan melalui FPAR

Indonesia - 14 November, 2023

Di Desa Kenanga, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, hampir seluruh desa yang luasnya sekitar 13,000 ha merupakan areal HGU (Hak Guna Usaha). Hampir seluruh kawasan hutan, lahan kebun, maupun kawasan hunian masyarakat, sebetulnya tidak mereka miliki. Padahal, mereka hidup dan menetap di kawasan ini sudah sejak zaman nenek moyang mereka, mengelola tembawang dan menjaga hutan dengan kebijaksanaan lokal, serta erat memelihara adat tradisi warisan leluhur yang sudah berlangsung turun temurun. Hampir seluruh masyarakat Kenanga termasuk para perempuannya masih mengandalkan hutan dan tembawang sebagai sumber kehidupan dan mengambil kebutuhan sehari-hari seperti obat-obatan, kayu-kayuan (bajaka, pasak bumi, sarang semut, dll.), jengkol, buah-buahan, termasuk untuk keperluan ritual adat dari hutan.

Para perempuan di Kenanga hampir seluruhnya memiliki keahlian menganyam. Aneka produk anyaman itu mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari. Selama ini mereka mendapatkan semua bahan baku menganyam itu dari hutan seperti rotan, bambu, dan bemban. “Kalau area HGU perusahaan itu dibangun, lalu kami bagaimana?” kata Dissri Prigitta, fasilitator FPAR Desa Kenanga. Tak hanya kehilangan sumber mata pencaharian, mereka juga akan kehilangan sumber air dan wilayah kelola adat yang sudah mereka jaga dan kelola turun temurun. Selain kehilangan hak kelola atas tembawang yang mereka warisi dari generasi ke generasi, mereka juga bisa kehilangan hutan keramat yang merupakan kawasan spiritual adat, sumber mata air yang menjadi sumber air minum, serta aneka sumber daya alam lain yang ada di desa, termasuk air terjun yang ingin mereka kembangkan sebagai tujuan wisata.

Fakta itulah yang muncul dalam sesi identifikasi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat dan komunitas local dalam workshop FPAR di Pontianak, Kalimantan Barat yang berlangsung pada 11-15 November 2023. Acara ini merupakan bagian dari rangkain FPAR yang telah dimulai dengan pelatihan ToT pada Oktober 2022, dan diikuti dengan pelatihan FPAR di tingkat tapak pada November 2022 hingga Agustus 2023. Selama kurun waktu tersebut, kegiatan FPAR telah menjangkau sekitar 150 perempuan di tingkat tapak dari 7 desa model GLA TI di Ketapang, Kalimantan Barat. Acara ini dipandu oleh perwakilan dari Indonesia Gender Team (IGT) Program GLA 2.0, yang terdiri dari tiga Lembaga, yaitu Aksi! For Social and Ecological Justice, Yakkum for Emergency Unit, dan Solidaritas Perempuan (SP).

FPAR 3-1.jpeg

Pada kesempatan ini, para peserta diajak untuk menggali lebih dalam mengenai persoalan ketidakadilan yang dihadapi perempuan adat/perempuan komunitas lokal di tingkat tapak, baik persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, maupun persoalan yang dihadapi sebagai perempuan. Selanjutnya mereka diajak untuk memikirkan solusi atas permasalahan tersebut. IGT memandu para perempuan ini untuk bisa mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang mereka hadapi sehingga membuat mereka terbuka dan sadar akan kegentingan masalah yang mereka hadapi, dan mampu memikirkan jalan keluarnya. “Jadi, bukan IGT yang memberikan solusi, tetapi solusi berasal dari mereka sendiri,” kata Risma Umar, perwakilan IGT dari Aksi!

Selain mengidentifikasi dan memikirkan solusi permasalahan atas tata kelola hutan dan sumber daya alam, para peserta FPAR diajak menelaah lebih jauh lagi mengenai relasi kuasa, di mana para pemangku kepentingan di lanskap mereka bisa menjadi figur yang menghambat atau justru sebaliknya, mendukung visi mereka menuju perubahan. Mereka juga mendiskusikan peta jalan perubahan yang telah mereka susun untuk menuju perubahan yang mereka harapkan di desa masing-masing, dan membuat jadwal kegiatan rencana aksinya. Sebagian besar peserta bersemangat untuk mendorong agar metode FPAR yang telah membawa perubahan bagi mereka juga bisa diadopsi oleh desa sehingga lebih banyak lagi perempuan di tingkat tapak yang bisa dijangkau untuk mengalami transformasi perubahan dan memunculkan potensi mereka.

Setelah mengikuti FPAR, para perempuan di Kenanga menyadari akan adanya ancaman yang mereka hadapi dari kemungkinan eksploitasi oleh perusahaan pemegang HGU, yaitu perusahaan HTI dan tambang bauksit. Selain itu, ancaman lain juga disadari berasal dari kegiatan penambangan emas rakyat tidak berizin yang juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemahaman ini membuat mereka mengambil Langkah penolakan terhadap kegiatan perusahaan yang dapat mengancam hutan dan wilayah kelola adat mereka. “Kami tak ingin kehilangan akses atas hutan dan wilayah adat kami,” kata Dissri.

FPAR 3-2.jpeg

Ketidakadilan penguasaan ruang hidup termasuk atas air, tanah, hutan dan aneka sumber daya lain di dalamnya, membuat masyarakat adat dan perempuan tidak memiliki hak atas tata kelola wilayah di mana mereka berada. Selain itu, perempuan juga menghadapi minimnya akses terhadap kontrol dan pengambilan keputusan atas tata kelola hutan dan sumber daya alam di mana perempuan nyaris tak bisa bersuara atau bila pun bersuara, suara mereka kurang didengar. Hilangnya kedaulatan atas ruang hidup ini membuat perempuan FPAR menyadari, mereka harus berjuang untuk mempertahankan ruang hidupnya dan memperoleh pengakuan atas hutan, lahan, dan kawasan adat/wilayah tradisional mereka.

Saat ini salah satu upaya masyarakat Desa Kenanga termasuk para perempuannya adalah memperjuangkan hak atas wilayah kelola adat/tradisional mereka dengan mendaftarkannya sebagai wilayah kelola masyarakat adat/local (ICCA). Wilayah yang mereka perjuangkan sebagai ICCA ini termasuk lokasi di mana di dalamnya terdapat lokasi Kuburan Tua Tolok Pote, Kuburan Tua Sogok, air terjun Malela Pota, dan 4 lokasi tembawang, yang total luasnya sekitar 48 ha.

Dissri dan para perempuan yang telah mengikuti pelatihan FPAR di Kenanga juga membentuk kelompok perajin anyaman yang diberi nama “Odop Baukir” dan kelompok perajin anyaman anak-anak muda dengan nama “Yoh Odop Ngonyam” (“Yuk, kita mengayam”). Kelompok anyaman ini melayani pembuatan produk anyaman berupa kotak tisu, tas, maupun cindera mata berdasarkan pesanan. Selain menambah penghasilan, pembentukan kelompok ini, menurut Dissri, juga merupakan upaya untuk mempertahankan budaya anyaman khas Dayak Komi yang merupakan warisan leluhur sehingga masyarakat juga lebih bersemangat lagi untuk menjaga hutan yang merupakan sumber penghasil bahan bakunya.

FPAR 3-4.jpeg

Selain Kenanga yang mengalami persoalan terkait HGU, banyak perempuan dari desa lain juga mengalami persoalan serupa terkait dominasi dan kuatnya pengaruh investasi yang mendapat legitimasi pemerintah melalui izin yang diberikan. Di sisi lain, pengetahuan yang minim membuat masyarakat seringkali tidak menyadari adanya ancaman yang mereka hadapi. Belum lagi dampak dari kegiatan perusahaan yang menyebabkan persoalan lingkungan dan tercemarnya sumber air yang biasa diakses oleh perempuan seperti yang terjadi di Desa Muara Jekak di mana kegiatan pertambangan bauxite di desa tetangga telah menyebabkan sungai di desa ini tercemar. Selain itu, kuatnya pengaruh adat dengan budaya patriarki dan sistem adatnya membuat perempuan nyaris tidak memiliki ruang di dalam pengambilan keputusan atau bahkan untuk sekedar bersuara atau menyampaikan pendapat, misalnya terkait tata kelola hutan/alih fungsi lahan.

**