Temuan baru mematahkan klaim drainase berkelanjutan di lahan gambut

Temuan baru mematahkan klaim drainase berkelanjutan di lahan gambut

Indonesia - 27 July, 2016

Pada 2015 lalu Indonesia kembali dihantam bencana kabut asap akibat kebakaran lahan gambut yang luas di Sumatra dan Kalimantan. Untuk menghadapinya, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi lahan Gambut nasional (BRG) dengan target ambisius untuk merestorasi lebih dari 2 juta hektar lahan gambut pada 2020. Kesuksesan ini akan bergantung pada pemahaman yang tepat terhadap karakteristik ekosistem lahan gambut yang sangat unik dan ringkih (fragile) tersebut. Sebuah policy brief yang baru diterbitkan oleh Wetlands International dan Tropenbos International menyerukan pendekatan berbasis ilmiah menyeluruh, sebagai pendukung perubahan sejumlah kebijakan dan model pengelolaan yang selama ini telah diterapkan secara luas namun kurang mempertimbangkan isu subsiden gambut secara memadai.

Sementara Pemerintah Indonesia saat ini mengambil langkah berani merestorasi lahan gambut berskala besar untuk mencegah kebakaran, termasuk membasahi kembali (rewetting) kawasan lahan gambut prioritas, beberapa pemain utama di industri pulp kertas dan perkebunan lainnya justru mengklaim bahwa lahan gambut dapat dikeringkan (drainase) untuk berkontribusi terhadap pembangunan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan. Namun, kajian kebijakan (policy brief) yang dipublikasikan hari ini oleh Wetlands International dan Tropenbos International menyatakan sebaliknya. Policy brief ini menyerukan penghentian segera dan bertahap atas pemanfaatan lahan gambut berbasis drainase di Indonesia, dan sebaliknya segera mengembangkan alternatif pemanfaatan lahan, dengan mengairi (membasahi) kembali lahan gambut.

wetlandsint1.jpg

Gambut terdiri dari 90% air dan 10% bahan organik yang sebagian besar adalah karbon. Permukaan air (water table) yang tetap tinggi telah mencegah penguraian (dekomposisi) bahan organik dan membentuk lapisan-lapisan gambut yang tebal selama berabad-abad, di sebagian besar kawasan di Indonesia. Namun, jutaan hektar lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan telah dikeringkan (drainase) bagi pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI. Drainase lahan gambut setidaknya memiliki tiga konsekuensi penting terhadap efek sosial dan ekonomi, sebagai berikat:

Pertama, ketika dikeringkan, gambut teroksidasi/terurai dan karbon secara terus menerus dilepaskan ke atmosfer sebagai CO2, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Kedua, lahan gambut yang dikeringkan sangat rentan terbakar, dan kebakaran telah berulang kali menghancurkan jutaan hektar lahan. Tahun lalu, kebakaran lahan gambut menghancurkan beberapa juta hektar lahan, dan kabut asap hasil kebakaran berdampak luar biasa terhadap perekonomian Asia Tenggara dan terhadap kesehatan masyarakat.

Terakhir, hilangnya gambut akibat oksidasi menghasilkan subsiden lahan gambut yang menyebabkan turunnya permukaan lahan di bawah permukaan laut atau sungai dan akhirnya menyebabkan seringnya kejadian banjir atau bahkan banjir permanen.

Sebagian besar lahan gambut dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan telah terdampak oleh drainase, dan kelanjutan pemanfaatan lahan seperti itu, termasuk untuk perkebunan pulp kertas dan kelapa sawit, dalam jangka panjang akan mengalami genangan banjir yang sering dan berkepanjangan saat musim hujan, merendam jutaan hektar lahan, mengakibatkan hilangnya kawasan lahan produktif yang luas. Lahan tersebut juga akan menjadi kawasan berisiko tinggi terhadap kebakaran kala musim kemarau tiba.

Edi Purwanto, Direktur Program Tropenbos International Indonesia mengatakan, “Sementara banyak kebijakan dan diskusi perencanaan pemanfaatan lahan di Indonesia fokus terhadap emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati dan kebakaran serta asap, isu mengenai dampak jangka panjang dari subsiden yang mengakibatkan banjir luput diperhitungkan.”

Pengelolaan lahan gambut di Indonesia kuat dipengaruhi oleh apa yang disebut pendekatan “eko-hidro”, suatu model pengelolaan lahan gambut yang dikembangkan oleh Asia Pacific Resources International Limited (APRIL), sebuah perusahaan pulp kertas berskala besar dengan aset utama lahan gambut Indonesia. Model tersebut mengklaim pengelolaan lahan gambut berkelanjutan berbasis drainase. Ini diterapkan di Semenanjung Kampar, di mana APRIL menguasai perkebunan-perkebunan.

wetlandsint2.jpg

Makalah yang dipublikasikan hari ini berpendapat, pendekatan “eko-hidro” tidak sukses dalam mengurangi efek samping drainase. Pendapat ini didasarkan pada kajian terhadap studi-studi mengenai lahan gambut di Indonesia, dan di berbagai belahan bumi lainnya. Kajian oleh Deltares, satu dekade lalu, tentang Kampar Peninsula Science Based Management Support Project, telah menunjukkan dampak negatif jangka panjang yang tidak terelakkan terhadap pengeringan lahan gambut. Temuan tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara laju subsiden pada “bisnis seperti biasa” dan dengan pendekatan “eko-hidro”. Studi-studi ilmiah terbaru, termasuk sebuah studi yang didukung oleh Wetlands International pada 2015 untuk Semenanjung Kampar menunjukkan, bahkan dengan laju subsiden menengah sebesar 3,5 cm per tahun, Semenanjung Kampar, dalam hitungan dekade, akan menghadapi masalah banjir yang luas dan berkepanjangan.

Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands International Indonesia mengatakan, “Pengelolaan/pemanfaatan lahan gambut berkelanjutan harus didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, bukan pada klaim sepihak perusahaan yang biasanya cenderung memiliki kepentingan bisnis semata dan mengabaikan semua bukti ilmiah dan dampak negatif luar biasa yang dapat ditimbulkan.”

Policy brief yang diluncurkan hari ini oleh Wetlands International dan Tropenbos International mengungkapkan temuan-temuan ilmiah baru dan menyajikan analisis menyeluruh terhadap keberlanjutan dan dampak drainase terhadap lahan gambut.

Policy brief ini meminta pemerintah dan industri untuk mengenali ancaman terhadap subsiden lahan gambut, merencanakan langkah-langkah tepat waktu untuk menghentikan secara bertahap pemanfaatan lahan gambut berbasis drainase, mempertimbangkan alternatif pemanfaatan lahan melalui pembasahan kembali (rewetting) serta menanam spesies yang mampu beradaptasi terhadap kondisi basah tersebut. Pengembangan alternatif ini, disebut paludikultur, juga semakin dipromosikan oleh Lembaga Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Edi Purwanto menyatakan, “Wawasan baru ini memiliki implikasi luas terhadap industri berbasis gambut di Indonesia, memerlukan tinjauan mendasar oleh Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan pengelolaan dan praktik-praktik pemanfaatan lahan gambut, serta sebagai landasan yang kuat bagi tugas penting BRG dalam memulihkan 2 juta hektar lahan gambut di Indonesia pada 2020 dan mencegah berulangnya bencana kebakaran dan kabut asap 2015”.