Komitmen Lindungi Warisan Kekayaan Alam Indonesia

Komitmen Lindungi Warisan Kekayaan Alam Indonesia

Indonesia - 09 March, 2016

Negara-negara yang berbatasan dengan Kutub Utara seperti Amerika maupun negara-negara di Eropa Utara yang merupakan negara-negara maju sangat terobsesi dengan keindahan warisan kekayaan bentang alam yang mereka miliki. Itulah sebabnya mengapa di negara-negara tersebut sejumlah besar kawasan konservasi dibangun bagi kepentingan penduduknya.

Konsep pembangunan kawasan konservasi ini ditularkan ke kawasan selatan dunia, khususnya kawasan-kawasan tropis, termasuk Indonesia. Proyek Pengembangan Taman Nasional UNDP/FAO, penetapan Pakta Manajemen Lingkungan dan Kongres Taman Dunia ke-3 yang diadakan di Bali pada 1982 telah menjadi tonggak sejarah pembangunan Taman Nasional (TN) di Indonesia. Beberapa TN diumumkan pada akhir 1980-an, beberapa kawasan yang memperoleh status sebagai kawasan lindung pada masa penjajahan Belanda ditingkatkan statusnya.

Saat ini, banyak TN telah kehilangan semua habitat aslinya akibat perubahan peruntukan menjadi lahan pertanian. Adopsi konsep kawasan lindung dari dunia barat berjalan lancar selama masa penjajahan hingga akhir 1970-an, dimana TN dilestarikan dari deforestasi anthropogenic di daerah-daerah pilihan berkat keterasingan dan kepadatan penduduknya yang secara umum rendah. Namun, berbagai masalah mulai menyeruak sepanjang era reformasi didukung oleh euforia demokrasi dan tekanan kebutuhan akan lahan untuk mempercepat pembangunan ekonomi demi merespon tingginya permintaan akan komoditas tanaman yang laris di pasaran internasional.

Konflik ini diperparah oleh lambannya tanggapan manajemen TN terhadap dinamika politik dan sosial diluar batas TN, diantaranya: (a) belum adanya pola yang jelas sampai batas mana masyarakat dapat terlibat dalam pengelolaan TN; (b) perluasan pemekaran/pembelahan kabupaten selama era reformasi telah membuat kawasan jurisdiksi beberapa kabupaten menjadi tumpang tindih (bahkan ada yang 100%) dengan kawasan konservasi, sehingga mengakibatkan munculnya konflik kewenangan antara kabupaten dan manajemen TN; (c) Manajemen TN gagal untuk menunjukkan kontribusi ekonomi yang nyata dari pelestarian alam terhadap mata pencaharian masyarakat atau mendorong produk domestik bruto pemerintah daerah.

Alasan umum yang kerap mendasari parahnya pengelolaan TN adalah: (a) strategi alokasi pendanaan yang keliru yang melebihi biaya manajemen dengan mengorbankan biaya operasional sehingga sumber daya yang dapat merespon masalah nyata di lapangan tidak ada; (b) desain organisasi, kepegawaian dan pendanaan ditentukan berdasarkan asumsi nasional yang dipukul rata, bukan didesain secara spesifik berdasarkan kebutuhan dan masalah TN (c) desain intervensi umum dengan akuntabilitas administrasi yang kaku; (d) tidak adanya dukungan unit implementasi teknis Kementerian Lingkungan dan Kehutanan di daerah untuk isu-isu teknis dan manajemen multi-disipliner TN; (e) tidak adanya insentif bagi fasilitator lapangan TN dan polisi hutan; (f) tidak adanya dukungan politis pemerintah pusat untuk melindungi kepentingan dan kawasan TN.

Nyatanya, keadaan di atas berakar dari miskinnya komitmen pusat dan daerah terhadap konservasi. Banyak pemerintah daerah tidak senang jika daerah administrasi mereka menjadi TN. Mereka terus mempertanyakan apa keuntungannya bagi mereka dan apa kompensasi yang dapat mereka harapkan sebagai gantinya. Pemerintah pusat juga setengah hati dalam mendukung TN karena menganggapnya sebagai tambahan biaya. Belum lagi persepsi usaha berbasis lahan, perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Mengingat kondisi tersebut, tidaklah mengherankan kalau kawasan TN dan keanekaragamannya nyaris tak mungkin dilindungi.

Kita perlu membangun kembali komitmen nasional melibatkan para pemangku kepentingan TN di tingkat pusat dan daerah untuk menjawab pertanyaan utama apakah kita perlu menyelamatkan TN atau tidak dengan segala konsekuensinya.

Kita adalah bangsa yang memiliki karakter ambigu. Kita menunjukkan kebijaksanaan di mata dunia dengan meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity/CBD), Konvensi untuk Memerangi Desertifikasi (Convention to Combat Decertification/CCD), Konvensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dan sebagainya, sementara kita sebetulnya tidak pernah benar-benar memikirkan cara merealisasikan komitmen tersebut dalam bentuk aksi nyata.

Kita bangga menyebut Indonesia sebagai kawasan hutan tropis ketiga terbesar di dunia, negara super power untuk keanekaragaman hayati, negara dengan mega keragaman sebagai pusat segitiga terumbu karang, tetapi kita tidak berbuat banyak untuk melindungi harta karun berharga ini.

Kita harus memiliki sikap yang teguh apapun taruhannya! Apa yang benar-benar ingin kita perjuangkan. Jika kita ingin menyelamatkan kepentingan umat manusia untuk jangka pendek, kita harus memangkas semua bentang alam hutan yang tersisa, namun bila kita ingin menyelamatkan kepentingan umat manusia untuk jangka panjang, kita harus melestarikan bentang alam berhutan utuh yang tersisa demi kepentingan bangsa dan masa depan generasi mendatang.

Pilihannya sudah ada, tapi keputusan ada di tangan kita!