Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri #10 Mitigasi Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Hutan

Serial Webinar “Mengelola Yang Tersisa” seri #10 Mitigasi Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Hutan

Indonesia - 02 December, 2020

Pesatnya pembangunan infrastruktur maupun kegiatan bisnis dan ekonomi seperti kegiatan pertambangan atau perkebunan telah menekan kawasan hutan. Untuk itu, mitigasi dampak berbagai kegiatan tersebut terhadap hutan perlu dilakukan sehingga apa yang tersisa dapat terlindungi dan lestari. Itulah pesan yang muncul dari webinar seri #10 Tropenbos Indonesia “Mengelola Yang Tersisa” yang kali ini mengangkat topik “Mitigasi Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Hutan”.

Keseimbangan linkungan memang kerap menjadi korban masalah ekonomi, padahal ekonomi juga memiliki titik maksimal sehingga bila terlampaui justru bisa menimbulkan masalah. Menurut Basah Hernowo, mantan Direktur Konservasi Sumber Daya Air dan Hutan Bappenas, setiap pergerakan manusia dan sumber daya alam selalu ada timbal baliknya. Ekosistem maupun sumber daya alam tidak bisa berubah tanpa intervensi manusia. “Saat ekonomi kecil, kondisi stabil, gain yang didapat tidak menyebabkan petaka. Tetapi ketika pertumbuhan ekonomi semakin besar, ekosistem semakin kecil, ia akan menyesuaikan diri dan terjadilah bencana,” urai Basah. Contoh, gempa akibat pengeboran minyak bumi. Perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya hutan, hanyalah sebagian dari opportunity cost of growth yang nyata.

Untuk itu, agar pembangunan berkelanjutan, Basah merekomendasikan agar mitigasi pembangunan infrastruktur di kawasan hutan yang selama ini baru terbatas pada sejumlah sektor diperluas ke sektor-sektor lain secara terpadu. Ia juga mengusulkan adanya peningkatan status legal dari level Peraturan Menteri menjadi Peraturan Pemerintah seperti misalnya untuk Peraturan Menteri LHK No.23/2019 tentang Jalan Strategis di Kawasan Hutan, serta ditambahkan dengan sektor publik lain, misalnya bendungan, jaringan fiber optic, jaringan air minum dan sanitasi, dan sebagainya. Ini sekaligus juga untuk mengurangi ego sektoral. Selain itu, ia mengingatkan akan pentingnya mengetahui “nilai” atau “value” dari sumber daya yang ada di kawasan hutan, tak hanya kayu melainkan juga keanekaragaman hayati, yang sebetulnya harus dilihat sebagai asset untuk dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik.

Sementara itu, mitigasi dari sektor pertambangan atau salah satu upaya untuk mengurangi risiko terhadap kegiatan pertambangan, menurut Wahyu Widhi atau yang biasa disapa Didit, staf ahli Gubernur Kaltim, adalah dengan melakukan reklamasi terhadap lahan bekas tambang untuk menata, memulihkan kondisi lahan seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah perusahaan tambang di Kalimantan Timur. Selain untuk revegetasi, lahan pasca tambang dapat digunakan pula untuk peruntukan lain, seperti wisata, peternakan sapi, perikanan, atau tanaman budidaya.

Menurut UU No.19/2004 tentang Kehutanan, penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan, dapat dilakukan hanya di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Jadi, bila ada pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan, seperti yang terjadi di Kalimantan Timur ketika jalan tol yang dibangun melewati Tahura Bukit Soeharto, status hutannya yang kemudian diturunkan. “Itu pun harus setelah melalui proses persetujuan dari DPRD,” ujar Didit. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan pun dapat dilakukan melalui izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Menurut Benny Hermawan, Kepala Bidang Pembangunan Infrastruktur Wilayah IC, Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), di dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur, saat ini pemerintah telah berupaya membuat keterpaduan dan sinkronisasi program baik yang sedang dalam persiapan maupun sudah dilaksanakan. Selain itu PUPR juga aktif melakukan diskusi dengan berbagai pihak dan mendorong pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang berwawasan ‘hijau’. Tak hanya memperhatikan daya dukung dan daya tampung, pembangunan infrastruktur juga diupayakan memperhatikan estetika, sehingga ada spot-spot yang dialokasikan untuk mendukung wisata dan meningkatkan nilai ekonomi kawasan tersebut. Upaya meminimalkan dampak terhadap flora dan fauna di dalam pembangunan infrastruktur juga dilakukan, misalnya seperti di tol Sumatra dengan membangun terowongan satwa, yaitu 6 terowongan gajah (underpass) di sepanjang jalan tol Pekanbaru-Dumai.

Dalam webinar ini, Benny juga memaparkan mengenai tantangan pengembangan infrastruktur, kebijakan dan strategi pembangunan infrastruktur 2020-2024, serta penerapan infrastruktur ‘hijau’ dan ‘berkelanjutan’ yang dilakukan PUPR. Benny mengakui, dengan situasi krisis seperti saat ini, beragam tantangan masih harus dihadapi seperti tingginya angka deforestasi di Indonesia, daya saing infrastruktur yang masih rendah dibanding negara lain, tantangan ekonomi yang pertumbuhannya saat ini minus, urbanisasi, dan sebagainya. Diantara sejumlah strategi yang diterapkan PUPR adalah pembangunan kawasan strategis terpadu, melakukan kolaborasi dengan kementerian atau lembaga terkait dan masyarakat sekitar, mengadopsi konsep pembangunan infrastruktur hijau yang berkelanjutan dan tahan bencana.

Sementara itu, Direktur Tropenbos Indonesia Edi Purwanto menyajikan paparan mengenai HCV (High Conservation Value) Landscape dan HCS (High Carbon Stock) sebagai tool untuk mendesain trase dan koridor jalan, dan Titiek Setyawati, Peneliti Bidang Kehati dan Green Infrastruktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyajikan paparan berjudul “Mengarusutamakan keanekaragaman hayati melalui pembangunan infrastruktur ramah lingkungan”. Lebih dari 170 peserta mengikuti webinar yang berlangsung pada Sabtu, 28 November 2020 ini baik melalui link zoom maupun youtube.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: