Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #1 Konservasi Tanah & Air di Lahan Gambut

Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #1 Konservasi Tanah & Air di Lahan Gambut

Indonesia - 21 December, 2020

Setelah sukses dengan seri “Mengelola Yang Tersisa”, Tropenbos Indonesia memperluas cakupan webinar yang diselenggarakan dengan seri baru, yaitu “Konservasi Tanah & Air” yang untuk seri pertama ini bertajuk “Konservasi Tanah & Air di Lahan Gambut”. Acara yang diadakan pada 19 Desember 2020 ini diikuti oleh lebih dari 200 peserta dan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Ir. Lailan Syaufina, Wakil Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Junun Sartohadi, Ketua PC Masyarakat Konservasi Tanah dan Air (MKTI) DI Yogyakarta, dan Dr. Ir. Satria Jaya Priatna, Ketua PC MKTI Sumatera Selatan.

Didalam pengelolaan lahan gambut, Lailan Syaufina menyebutkan adanya tiga aspek terkait, yaitu emisi karbon dan perubahan iklim, air dan kebakaran lahan gambut, serta tantangan konservasi tanah dan air di lahan gambut. Diantara aspek tersebut, kebakaran lahan gambut di Indonesia ternyata menempati urutan tertinggi dalam menghasilkan emisi karbon. “Dari informasi Global Fire Emission database, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2015 menghasilkan emisi karbon 2 miliar ton yang tentunya berkontribusi terhadap perubahan iklim,” kata Lailan. Lahan hutan rawa gambut yang dalam kondisi alami selalu tergenang air bisa menjadi kering dan rawan terbakar akibat kegiatan manusia seperti pembuatan saluran drainase untuk lahan perkebunan yang juga menyebabkan terjadinya subsiden atau penurunan lapisan gambut.

Di musim hujan, hutan rawa gambut dapat berfungsi sebagai spons yang menyerap kelebihan air sehingga tidak terjadi banjir. Di musim kemarau, ia akan mengalirkan air ke lahan di sekitarnya, sehingga tidak terjadi kekeringan. Saat terjadi pemotongan akibat pembuatan saluran drainase, air dari kubah gambut akan keluar dari lahan gambut dan lama kelamaan akan mengeringkan permukaan tanah gambut sehingga kering dan rentan terbakar. “Kebakaran di lahan gambut diawali dari permukaan, bergerak ke bawah menjadi ground fire, dan bisa berkembang menjadi surface fire, atau crown fire atau kebakaran tajuk,” urai Lailan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebakaran gambut adalah kadar air gambut, tingkat dekomposisi gambut, tinggi muka air, dan curah hujan. Semakin rendah kadar air gambut, semakin tinggi laju pembakaran, begitupun sebaliknya semakin tinggi kadar air gambut, semakin rendah laju pembakaran.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah air dari lahan gambut keluar secara tidak terkendali sehingga menyebabkan kekeringan adalah dengan pembuatan canal blocking yang akan mengkondisikan kadar air tetap tinggi sehingga lahan tidak kering dan mudah terbakar. Alternatif lain adalah melalui agroforestry, yang sekaligus dapat menjadi salah satu alternatif solusi ketahanan pangan, misalnya integrasi antara jelutung dengan jagung atau sayuran. Integrasi juga bisa memadukan antara hutan, pertanian dan perikanan.

Menurut Junun Sartohadi, kandungan mineral gambut sangat rendah, yaitu kurang atau sama dengan 10% berat tanah. Lapisan tanah mineral pada lahan gambut ini biasanya hanya sampai sekitar 50 cm dari permukaan tanah gambut. Dengan PH yang sangat rendah unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak tersedia. Kawasan gambut juga tergenang sehingga oksigen di dalam tanah sangat rendah dan pengambilan unsur hara oleh tanaman menjadi terganggu.

Untuk menjadikan lahan gambut sebagai lahan produksi sebagaimana lahan mineral, banyak lahan gambut dikeringkan sehingga material organiknya menjadi kering dan terjadi penyusutan volume. Untuk membuka lahan, pembakaran sering menjadi pilihan karena murah dan efektif. Melalui pembakaran ada peningkatan PH tanah dan ketersediaan unsur hara meningkat sehingga ada perbaikan kualitas tanah karena adanya arang sisa pembakaran. Namun sayangnya, cara ini sangat tidak lestari dan menimbulkan permasalahan lingkungan yang sistemik seperti pelepasan karbon, pencemaran udara, penyusutan volume tanah, dan gambut bersifat hidropobik. “Sekali dikeringkan, gambut tidak akan bisa lagi kembali menampung air seperti semula,” kata Junun.

Sepakat dengan Lailan, untuk menjaga fungsi ekologis sebagai penampung air, Junus menyarankan agar lahan gambut dimanfaatkan untuk pengembangan sektor perikanan dan pariwisata pendidikan. Ia juga mengingatkan, pengelolaan lahan gambut memerlukan kesiapan masyarakat baik dalam tata kelola lahan, pemeliharaan tanaman, penanganan hasil termasuk penguasaan teknologi panen dan pengolahan, serta pemasaran dan distribusi. Peningkatan kualitas sumber daya masyarakat dapat dilakukan melalui pelatihan, pendampingan dalam pelaksanaan tata kelola, dan pengawasan maupun evaluasi untuk perbaikan selanjutnya.

“Pengelolaan lahan gambut memerlukan pendekatan scientific yang tidak bisa disamaratakan. Inilah kelemahan yang sering terjadi dari berbagai pihak yang bekerja di lahan gambut yang luasnya ratusan ribu ha,” kata Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia yang dalam webinar kali ini berperan sebagai moderator. Padahal, ‘land unit’ di lahan gambut masing-masing memiliki spesifikasi tersendiri baik dari segi biofisik maupun sosial ekonominya. Untuk itu, penelitian diperlukan dan pengelolaan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan kondisi biofisik dan sosial dari masing-masing unit lahan yang ada.

Sementara itu, mengutip data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP, 2019), Satria Jaya Priatna mengatakan, sebaran lahan gambut di Indonesia saat ini mencakup hampir 13,5% dari luas daratan di Indonesia. Sekitar 8,98 juta ha terdapat di Sumatera dan sisanya tersebar di Kalimantan, Papua dan sebagian kecil di Jawa. Lahan gambut yang luas ini sangat berpotensi untuk dieksplorasi, meski kerap menjadi perdebatan ketika dieksplorasi sebagai lahan produksi. Terlebih di Sumatra karena lahan gambutnya dominan merupakan gambut dalam.

Berperan penting sebagai penyangga hidrologi di dalam ekosistem, alih fungsi lahan gambut memang merupakan penyebab kerusakan terbesar yang terjadi. “Kegiatan yang terkait dengan pengeringan/drainase merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan lahan gambut, serta pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, dan yang saat ini sedang marak adalah pemanfaatan lahan gambut untuk kebun sawit dan akasia,” kata Satria. Menurut Satria, luas kebakaran lahan gambut di Sumatra Selatan periode 2015-2020 mencapai lebih dari 1 juta ha. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Untuk merestorasi lahan gambut, menurut Satria, pendekatan 3R dapat dilakukan, yaitu melalui rewetting, revegetation, dan revitalization of livelihoods. Adapun kegiatan rewetting meliputi pembuatan sekat kanal, penimbunan kanal, atau pembuatan sumur bor, sedangkan revegetasi dapat dilakukan melalui pembuatan persemaian dan penanaman. Namun, Satria mengingatkan, “Gambut yang sangat dalam tidak bisa dipaksakan untuk ditanami atau dikembangkan untuk budidaya.” Sementara itu, revitalisasi sumber mata pencaharian atau pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal dapat dilakukan melalui paludikultur misalnya dengan tanaman sagu, jelutung, talas rawa, pulai, gaharu, dan sebagainya, atau melalui perikanan dan ekowisata. “Tingkat perekonomian masyarakat ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut,” katanya. Pada masyarakat desa yang tingkat ekonominya sudah cukup baik, tingkat kerusakan lahan gambutnya relatif kecil. Namun di wilayah desa yang tingkat kemiskinannya tinggi, fakta di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan tingkat kerusakan lahan gambut yang juga meningkat.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: