Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #4 Menyehatkan Lahan dan DAS

Serial Webinar “Konservasi Tanah dan Air” Seri #4 Menyehatkan Lahan dan DAS

Indonesia - 02 July, 2021

Sekaligus dalam rangka memperingati hari penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan “Desertification & Drought Day”, 17 Juni 2021, yang tahun ini mengangkat tema “Restoration. Land. Recovery. We build back better with healthy land”, Tropenbos Indonesia menggelar webinar bertajuk “Menyehatkan Lahan dan DAS”, yang kali ini kembali bekerja sama dengan Masyarakat Konservasi Tanah & Air Indonesia (MKTI). “Dengan tanah yang sehat, kita bangun kembali ekosistem kita,” pesan Dr. Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia, dalam pembukaan webinar yang diikuti sekitar 490 peserta pada Sabtu, 19 Juni 2021 lalu.

Sejumlah tantangan masih terus menghadang Konservasi Tanah dan Air (KTA) sampai saat ini, meski pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang seharusnya dilaksanakan dari hulu ke hilir telah mengarah pada berbagai perbaikan. Pemerintah telah menuangkan pelaksanaan KTA ini dalam UU No.37/2014 tentang KTA yang menyebutkan bahwa pengelolaan DAS merupakan upaya timbal balik antara sumber daya alam dan manusia dengan segala aktivitasnya demi terwujudnya kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya manfaat sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Dengan adanya UU DAS tersebut, menurut Helmi Basalamah, Plt. Dirjen BPDAS RH, KLHK, yang perlu ditingkatkan adalah azas manfaat dan keadilannya. “Bila masyarakat sudah mendapat manfaat, diharapkan tidak ada lagi perusakan,” katanya.

Menurut Helmi, yang dalam webinar kali ini memberikan paparan berjudul “Implementasi KTA dalam Program Pengelolaan DAS dan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan)”, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menargetkan rehabilitasi kawasan mangrove seluas 83 juta ha untuk tahun ini. Sebagai penyimpan karbon tinggi, perubahan iklim bisa memberikan dampak besar terhadap kawasan mangrove. Helmi menjelaskan, penerapan berbagai teknik konservasi tanah seperti teras, plat dan sebagainya sebagai sentuhan teknologi untuk kesehatan bentang alam perlu melihat tak hanya bagian yang terdampak, tetapi juga di bagian eksternalnya. Ikhtiar teknologi ini menurutnya harus dikembangkan untuk dapat mengatasi DAS kritis secara lebih intesif selain melalui kearifan lokal.

Menurut Dr. Ir. Harry Santoso, IPU, anggota Dewan Pembina PP MKTI dan IAPWD-IPB serta Dewan Pakar FORDASNAS, KTA memiliki peran penting dalam menyehatkan fungsi DAS dan lahan terdegradasi. Namun, saat ini masyarakat masih kurang peduli terhadap kerusakan DAS karena DAS merupakan sumber daya alam milik umum (common property resources) dimana bila kondisinya baik, semua orang ingin menikmati, tetapi bila kondisinya rusak, semua orang tidak mau bertanggung jawab. “Inilah sulitnya menghadapi sumber daya alam milik umum,” kata Harry yang dalam webinar ini memberikan paparan berjudul “Peran KTA dalam Menyehatkan DAS dan Lahan Terdegradasi”.

Selain itu, menurutnya, kadangkala ada pula distorsi kebijakan, misalnya, Hutan Lindung yang sering dianggap tidak memberikan keuntungan, padahal di situ ada jasa lingkungan, jasa air, dan sebagainya. Tak heran bila terjadinya distorsi pemanfaatan ruang seperti konversi lahan kerap kali dibiarkan. “Dampak/manfaat perlindungan DAS tidak masuk dalam kalkulasi individual,” tambahnya. Padahal didalam UU No.37/2014 Pasal 7 jelas disebutkan bahwa semua pihak mulai dari pemerintah, pemda, pemegang hak/kuasa atas tanah, pemegang izin, maupun pengguna lahan bertanggung jawab dalam KTA dan wajib mengikuti prinsip konservasi.

Saat ini, menurut Harry, kemampuan Indonesia sangat rendah untuk mencapai net zero emission. Indonesia juga rentan terhadap aneka bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim yang berdampak pada kerugian ekonomi dan sosial. Pada kurun waktu 2010 – 2018 saja bencana hidrometeorologi yang terjadi di Indonesia didominasi oleh banjir, rob, tanah longsor, dan putting-beliung yang semuanya merupakan dampak perubahan iklim. “Bila tanpa intervensi kebijakan apapun, kerugian bisa mencapai Rp115 triliun,” katanya. Namun, bila ada intervensi yang dilakukan, kerugian bisa ditekan hingga menjadi sekitar Rp57 triliun. Selain itu, tanpa upaya menurunkan emisi yang berdampak terhadap perubahan iklim, akan terjadi defisit air, meningkatnya karhutla, menghilangnya pulau-pulau kecil, meningkatnya deforestasi dan degradasi, yang berujung pada terancamnya kondisi social ekonomi, ketahanan pangan, maupun stabilitas ekonomi nasional. Bahkan, konflik tenurial dan pemanfaatan sumber daya air pun akan meningkat.

Sampai 2008, menurut Prof. Ir. Wani Hadi Utomo, Ph.D, Guru Besar Faperta Universitas Brawijaya yang juga anggota Dewan Pakar MKTI, luas lahan terdegradasi berat/sangat kritis di Indonesia mencapai sekitar 48 juta ha. Angka ini menurun drastis menjadi sekitar 5 juta ha pada 2011, dan pada 2018 menjadi sekitar 4,5 juta ha. Penurunan yang cukup besar tersebut ternyata terjadi karena adanya perbedaan definisi dalam memberikan batasan lahan terdegradasi sehingga menurutnya perlu dilakukan penyeragaman.

Dalam webinar ini, Wani memberikan paparan berjudul “Penggunaan biochar untuk restorasi lahan terdegradasi”. Menurut Wani, sejumlah penelitian telah membuktikan adanya perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah berkat biochar. Penggunaan biochar terbukti dapat meningkatkan kandungan karbon, meningkatkan pH tanah, dan meningkatkan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah untuk mempertahankan unsur hara agar tidak mudah terdegradasi. Berkat biochar, perbaikan populasi dan aktivitas jasad mikro di dalam tanah juga terbukti mampu meningkatkan hasil tanaman seperti pada beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan tanaman padi, jagung, dan kedelai. “Salah satu keuntungan penggunaan biochar adalah peningkatan KTK sehingga meningkatkan penjeratan unsur hara yang bermuatan positif dan meningkatkan efisiensi pemupukan,” kata Wani. Efisiensi pemupukan yang bila tanpa biochar hanya sekitar 40% bisa mencapai 50% bahkan hingga 80% bila menggunakan biochar.

Meski demikian, ada pula pihak-pihak yang kurang setuju terhadap penggunaan biochar ini dengan berbagai alasan. Kekhawatiran akan luasnya kebutuhan lahan untuk memproduksi arang dan energi yang dapat memperburuk perubahan iklim dan menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang parah, risiko pengembangan varietas tanaman rekayasa genetik secara khusus untuk menghasilkan biochar yang dapat memberikan dampak ekologi serius, atau proses pembuatan arang dan energi yang dapat menghasilkan polusi tanah dan udara yang berbahaya, hanyalah sebagian diantara kekhawatiran itu.

Menghadapi sejumlah kekhawatiran itu, Asosiasi Biochar Indonesia (ABI) dalam musyawarah nasionalnya yang ke-2 di Universitas Panca Bhakti, Pontianak pada 2016 telah sepakat untuk menggunakan limbah organik terutama sampah kota sebagai bahan baku biochar. Sebagai sarana penyehatan DAS, Wani menyatakan, biochar masih sangat cocok, terutama untuk wilayah-wilayah kering, sehingga tanaman yang diusahakan di atasnya tetap bisa bertahan dalam jangka panjang, meski tiada hujan.

Materi presentasi bisa di download DISINI

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: