Karhutla, Salah Siapa?

Karhutla, Salah Siapa?

Indonesia - 30 October, 2019

Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan khususnya Ketapang agaknya sudah menjadi rutinitas tahunan. Kebakaran hampir selalu terjadi di setiap musim panas, terutama saat musim panas ekstrem akibat pengaruh El Nino. Tentu saja faktor alam seperti musim panas yang berkepanjangan atau faktor manusia seperti adanya unsur kesengajaan ataupun kelalaian, atau kombinasi keduanya, bisa mempengaruhi. Penyebab kebakaran sulit ditentukan secara pasti sehingga acapkali timbul “praduga” atau mencari “kambing hitam” sebagai pembenaran atas teori di atas kertas. Namun demikian, tidak ada asap tanpa api, tidak ada akibat tanpa sebab.

Sejarah penggerogotan hutan tidak terlepas dari adanya pemberian izin HPH/IUPHHK- HA oleh pemerintah kepada sejumlah korporasi. Akibatnya, korporasi-korporasi itu menumbangkan pohon-pohon raksasa dan menyisakan nestapa bagi satwa. Aktivitas penebangan dan pembalakan hutan secara masif telah memicu deforestasi dan degradasi. Meski semestinya, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA atau dulu disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) itu adalah izin memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Namun pada praktiknya, benarkah kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan itu dilakukan oleh perusahaan? Nyatanya, banyak perusahaan hanya melakukan kegiatan penebangan, pengolahan, dan pemasasaran demi keuntungan semata.

Tak hanya itu, pasca pemberian IUPHHK, Pemerintah juga memberikan izin konsesi kepada beberapa perusahaan perkebunan sawit untuk beroperasi. Celakanya, sebagian diantaranya mendapat izin konsesi di areal gambut, seperti PT Limpah Sejahtera dan PT ARTU Plantation. Untuk memahami kebakaran yang terjadi di Ketapang, perlu dipilah antara kebakaran yang terjadi di “tanah mineral” dan yang terjadi di “lahan gambut”. Penyebab kegaduhan terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan adalah “ekspor asap” oleh Indonesia, untuk itu perlu dicari dari mana sumber api yang telah menghasilkan asap begitu banyak.

Tabel 1. Daftar beberapa perusahaan pemegang IUPHHK di Kabupaten Ketapang

No. Nama Perusahaan  SK IUPHHK  Luas Areal [ha]  Masa Berlaku
SKIUPHHK
 1  PT. Duadja Corporation II
[Grup Hutrindo Wanabangun]
 SK. Menhut No.90/Kpts-II/2001,
Tanggal 15 Maret 2001
 74.850 2001 s/d 2021
 2  PT. Suka Jaya Makmur
[Grup Alas Kusuma]
 SK. Menhut No.106/Kpts-II/2000, 
Tanggal 29 Desember 2000
 171.300  1999 s/d 2054
 3  PT. Karunia Hutan Lestari
[Grup Karunia Hutan Lestari]
 SK. MenhutbunNo.938/Kpts-VI/1999, 
Tanggal 154 Oktober 1999
 41.700  1999 s/d 2054
 4  PT. Wana Kayu Batu Putih  SK. Menhutbun No.226/Kpts-II/2000, 
Tanggal 25 Agustus 2000
 42.500  1999 s/d 2044
 5  PT.Wanasokan Hasilindo
[Grup Alas Kusuma]
 SK. Menhutbun No.265/Kpts-II/2000, 
Tanggal 25 Agustus 2000
 49.000  1999 s/d 2019
 6  PT. Sewaka Lahan Sentosa  SK. Bupati KetapangNo.29/2005, 
Tanggal 5 Februari 2002
 32.180  2002 s/d 2022

 Kebakaran di Lahan Gambut

Pada masa lalu, masyarakat yang tinggal di pesisir dan hidup berdekatan dengan gambut memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Alam mengajarkan kepada mereka, gambut bukanlah tempat yang cocok untuk bertani padi maupun berbudidaya tanaman lain. Dengan demikian, aktivitas masyarakat di lahan gambut terbatas pada mencari kayu dalam skala kecil untuk kebutuhan rumah tangga, dan berburu.

Ketika pemerintah memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan besar untuk mengubah hutan gambut diantaranya menjadi perkebunan kelapa sawit, di situlah gambut mulai diusik. Bukan itu saja, program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah juga menempatkan sejumlah besar transmigran di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter untuk bermukim.

Sejak saat itulah lahan gambut dibuka, dipetak-petak, dibangun kanal-kanal sehingga menyebabkan gambut menjadi kering dan rentan terbakar. Kebakaran, akhirnya, menjadi langganan di setiap musim kemarau.

Menyaksikan lahan gambut berubah fungsi, tidak sedikit warga lokal mulai ikut memetak-metak lahan gambut untuk dikuasai, dan menjualnya kepada pemilik modal, baik pengusaha maupun pejabat sehingga menghasilkan lahan tidur yang tidak sedikit. Sejumlah proyek aspirasi DPRD, seperti pembuatan parit cacing, pembuatan kanal jumbo disinyalir juga ikut menambah daftar hitam penggerusan gambut.

Korporasi Penyebab Karhutla?

Tidak sedikit kasus kebakaran yang terjadi di Kabupaten Ketapang berada di dalam konsesi sebuah perusahaan. Apakah hal itu berarti perusahaan tersebut sudah pasti pelaku pembakarannya? Bila kebakaran itu terjadi saat perusahaan melakukan land clearing, atau terjadi di areal perkebunan tidak produktif, atau memasuki usia sawit tidak produktif, indikasi pelaku pembakaran bisa jadi diarahkan kepada pihak perusahaan. Tetapi bila kebakaran itu terjadi di areal perkebunan yang produktif, kecil kemungkinan perusahaan membakar sendiri kebun mereka yang produktif.

Lalu siapa yang membakar? Ini tentu memerlukan penelusuran lebih jauh. Tak jarang perusahaan mengatakan, penyebab kebakaran adalah petani sehingga api merambat ke areal perkebunan perusahaan. Konflik antara perusahaan dengan warga bisa menjadi pemicu, begitu pula aktivitas warga seperti memancing atau berburu bisa menyebabkan terjadinya kebakaran di areal perkebunan perusahaan.

Siapapun yang telah menyebabkan terjadinya kebakaran, fokus lebih penting adalah mengatasi kebakaran yang terlanjur terjadi dan mencegah agar kebakaran itu tidak sampai terjadi lagi. Jawaban atas kedua hal tersebut adalah “pengelolaan air (water management)” dan “peralatan dan personil pemadam kebakaran di perusahaan”.

Sebagian besar tanaman memerlukan kondisi yang aerob. Pemanfaatan lahan gambut untuk komoditas tanaman perkebunan memerlukan saluran drainase atau kanal untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar, mengubah kondisi anaerob menjadi aerob, supaya tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun demikian, pembuatan saluran drainase di lahan gambut akan diikuti oleh penurunan permukaan lahan (subsidence). Proses ini terjadi karena pemadatan, dekomposisi, dan erosi gambut di permukaan yang kering. Semakin dalam saluran drainase, diindikasikan penurunan permukaan lahan yang terjadi akan semakin besar dan semakin cepat. Ini menyebabkan gambut menjadi kering dan rentan terbakar.

Saat ini, solusi yang dimiliki perusahaan adalah pembangunan blocking canal untuk mengatur ketinggian muka air, dan pembuatan sumur bor di titik-titik rawan kebakaran yang akan mempermudah mereka mendapatkan air jika terjadi kebakaran dan mempermudah melakukan water pumping untuk pembasahan daerah rawan kebakaran untuk mencegah terjadinya kebakaran. Perusahaan juga selayaknya memiliki peralatan dan personil pemadam kebakaran terlatih untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di areal perkebunan.

Firefighters battle a peatland fire in Sungai Pelang Village, Ketapang (pic by Sutopo)-01.jpg

Masyarakat atau petani sawit penyebab karhutla?

Sawit merupakan komoditi utama yang ditanam masyarakat di lahan gambut. Padi dan sayuran tidak dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut. Sebagian masyarakat mulai menanam tanaman sela seperti sawit, buah naga, dan cincau. Keterbatasan finansial serta kondisi lahan yang sulit dibersihkan secara manual membuat sebagian masyarakat masih menggunakan api sebagai solusi. Sebagian lahan juga merupakan lahan tidur yang dimiliki oleh pengusaha atau pejabat dari luar desa. Kebakaran acap terjadi di lahan-lahan tidur ini dengan penyebab yang tidak diketahui secara pasti.

Larangan pembakaran/penggunaan api untuk membuka lahan menuai kritik masyarakat karena tidak disertai dengan alternatif solusi. Kegiatan ladang berpindah masyarakat sudah berlangsung sejak lama.Kegiatan membakar adalah rangkaian akhir dari proses yang dilakukan dalam mengolah lahan. Proses membuka lahan oleh petani adalah menentukan kawasan atau lokasi dengan pertimbangan- pertimbangan tertentu setelah melalui survei lokasi untuk mengecek keadaan tanah, kesuburan tanah dan ketersediaan air di sekitarnya. Jika telah dianggap cocok, sebilah patok kayu atau bambu “pempanggol” akan ditancapkan sebagai penanda bahwa lokasi tersebut akan dibuka dan dijadikan ladang.

Setelah kegiatan memanggol, berikutnya dilakukan kegiatan membuka sampai selesai. Kegiatan membuka lahan biasanya dilakukan diantara Mei-Juni, dan membakar lahan diantara Agustus-September. Sebelum membakar, lahan diberi sekat pemisah mengelilingi lahan yang hendak dibakar, dan saat hendak membakar harus sepengetahuan pemilik lahan lain yang ada di sekitar lahan yang hendak dibakar, serta dilakukan secara gotong-royong bersama beberapa warga lainnya. Lahan akan ditinggalkan jika api sudah dipastikan padam atau tidak meluas ke lahan lainnya. Tentu saja risiko kebakaran tetap ada, tetapi biasanya masih dapat dikendalikan.

Bila di masa lalu sistem ladang berpindah dilakukan dengan membuka hutan primer, sekarang dengan ketersediaan hutan yang sudah terbatas dan meleknya warga terhadap informasi tentang status hutan membuat praktik membuka hutan alam sudah tidak dilakukan lagi. Pola ladang berpindah kini dilakukan dengan sistem rotasi dari lahan yang sudah ada, yang dulu pernah ditanami dengan sistem polikultur tetapi tanaman di dalamnya sudah tidak produktif lagi sehingga dilakukan replanting. Luasan ladang yang dibukapun rata-rata kurang dari 1 ha/KK.

Jenis komoditi yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah karet, ditanam dengan sistem campur dengan jenis tanaman lain seperti durian, cempedak, petai, buah asam, tengkawang, jengkol dan jenis tanaman lain. Belakangan terlihat banyak masyarakat mulai mengkonversi kebun karet menjadi kebun sawit, karena turunnya harga karet.

Aktivitas manusia memang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, tak terkecuali oleh para peladang. Namun sebelum adanya aktivitas korporasi, kebakaran yang terjadi tidak bersifat massif dan besar-besaran. Sejumlah perkebunan besar juga dinilai lalai dalam pengawasan maupun penanggulangan kebakaran lahan dan hutan di sekitar areal perkebunan mereka.

Siapapun biang keroknya, pemerintah mau tak mau harus hadir, bahkan sebelum terjadinya karhutla. Data dan lokasi riil petani yang berladang dan hendak membakar lahan perlu dimiliki pemerintah, untuk dapat membangun pemahaman bersama dan menyusun rencana langkah-langkah strategis pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Bila api tak lagi diizinkan, sumber daya yang ada perlu dikerahkan untuk membantu masyarakat mencari jalan keluar yang terbaik. (STP)