Serial Webinar "Mengelola yang tersisa" seri#12 Ada Apa Pengelolaan DAS Kita?

Serial Webinar "Mengelola yang tersisa" seri#12 Ada Apa Pengelolaan DAS Kita?

Indonesia - 27 January, 2021

Sejak tahun 1970-an hingga saat ini, beragam program reboisasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah dilakukan melalui berbagai kegiatan. Namun tetap saja, saat musim hujan berita tentang banjir dan tanah longsor terus terdengar, begitupun di musim kemarau kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan yang panjang terus melanda. “Ini menunjukkan pengelolaan DAS belum seperti yang kita harapkan, meski berbagai upaya sudah kita lakukan,” demikian dikatakan Direktur Tropenbos Indonesia, Edi Purwanto, dalam serial webinar “Mengelola Yang Tersisa” yang kali ini mengangkat tema “Ada apa pengelolaan DAS kita?” Lebih dari 300 peserta mengikuti webinar ini baik melalui zoom maupun link youtube.

Banyak orang masih memahami DAS sebagai wilayah di kiri kanan sungai saja, padahal menurut Edi, sebetulnya tidaklah seperti itu. DAS adalah cekungan-cekungan bak mangkok yang menerima air dan mengalirkannya ke sungai yang kemudian mengalir ke laut. Karakteristik aliran permukaan sangat ditentukan oleh kondisi mangkok/DAS tersebut. “DAS adalah sebuah ekosistem yang menerima air dari hujan, dan mengalirkan air dalam bentuk aliran permukaan, mengalir pada sungai-sungai sampai ke laut,” kata Edi. Seberapa cepat dan seberapa besar aliran air tersebut menimbulkan erosi dan sedimentasi akan ditentukan oleh kondisi penutupan lahan yang dilaluinya.

Berbeda dengan batas administrasi, batas DAS adalah batas alam, dengan demikian dapat menganalisis kergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (interrelationship) antara komponen ekosistem seperti penutupan lahan, faktor pembentuk DAS, dan karakteristik pengaliran air, juga antara dampak on site dan off site, serta antara apa yang terjadi wilayah hulu dan dampaknya di wilayah hilir. Pengelolaan DAS menjadi kian penting karena intensitas hujan di daerah tropis seperti di Indonesia sangatlah tinggi sehingga banjir menjadi hal yang tidak terelakkan, terlebih di era perubahan iklim seperti saat ini yang menyebabkan kerap terjadinya curah hujan ekstrim yang sangat tinggi. Di sisi lain, resistensi atau kapasitas tanah untuk meresapkan air kecil.

Itulah mengapa hutan berfungsi penting sebagai perlindungan DAS, yaitu untuk mengatur tata air, menjaga agar kuantitas air relatif stabil di musim hujan dan kemarau, mengendalikan erosi dan sedimentasi, serta memelihara kualitas air. Namun demikian Edi mengatakan, penutupan hutan yang sepenuhnya dapat mengontrol karakter hidrologi DAS hanyalah mitos belaka karena berbagai hal lain juga ikut menentukan seperti iklim, kondisi geologi, kondisi geomorfologi, kondisi tanah, maupun topografinya. Jadi faktanya, karakteristik tata air DAS ditentukan oleh biofisik pembentuknya seperti geologi, geomorfologi, tanah, topografi, dan kondisi pengaliran.

Mitos lain yang kerap muncul, menurut Edi, yang dalam webinar kali ini memberikan paparan seputar mitos dan fakta pengaruh hutan dalam perlindungan DAS, adalah penebangan hutan sebagai penyebab utama kerusakan hidrologi DAS. Faktanya, deforestasi seringkali terjadi karena kerusakan lanskap hutan oleh kegiatan penebangan dan buruknya pengelolaan lahan pasca penebangan, serta proses konversi hutan. Kegiatan penebangan pohon atau pengambilan kayu yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian, pembukaan lahan yang minimal, memperhatikan konservasi tanah dan air, memelihara kapasitas infiltrasi top-soil, dan pengelolaan lahan yang baik misalnya melalui agroforestry sebetulnya berpotensi mengurangi kerusakan hidrologi DAS.

Sayangnya, menurut Edi, penebangan kayu dan konversi hutan yang dilakukan dengan meminimalkan kerusakan memang jarang terjadi di Indonesia. Untuk itu, ia memberikan sejumlah rekomendasi seperti perlunya pendekatan lanskap di dalam pengelolaan DAS, perlunya pemetaan daerah-daerah yang rawan banjir dan longsor yang dipadukan dengan informasi cuaca BMKG dan disosialisasikan kepada masyarakat melalui social media, perlunya membangun gerakan konservasi tanah dan air yang melibatkan seluruh pihak, serta terus memperbaikan tata kelola Rehabilitasi Hutan dan Lahan/RHL.

Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai, BPDASHL, KLHK, M. Saparis Soedarjanto, yang memberikan paparan bertajuk “Kebijakan Pengelolaan DAS dan Implementasi Pelaksanaannya di Skala Tapak – Merajut Program Untuk Mengatasi Stagnasi” menjelaskan, selama ini kebijakan pengelolaan DAS memang difokuskan di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi, yang secara ekologis berdekatan dengan wilayah hutan atau di wilayah hulu, meski nyatanya wilayah hilir tak luput terdampak oleh banjir.

Untuk dapat menentukan intervensi yang diperlukan terhadap DAS, menurut Saparis, perlu adanya pemahaman secara menyeluruh terhadap konfigurasi lanskap dan bukan hanya hutan. Seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Bualemo, Gorontalo, misalnya, tanah yang sudah tidak bisa ditanami karena sudah hilang topsoil-nya di daerah hulu, tentu berdampak besar terhadap daerah hilir dan sedimentasi di kawasan ini mempengaruhi bendung Paguyaman yang mengairi 6,880 ha sawah di sekitarnya dengan nilai IDR 619 miliar per tahun. “Nilai ini akan terancam jika tata guna lahan di hulunya tidak bagus,” katanya.

Meski fakta di lapangan menunjukkan adanya kondisi lahan yang sudah sangat memprihatinkan, menyadarkan masyarakat seringkali tidak mudah dilakukan. Menurut Saparis, pengelolaan DAS erat kaitannya dengan perilaku manusia dimana latar belakang nilai-nilai tertentu yang dimilikinya akan sangat mendasari keputusannya dalam menentukan pola pemanfaatan lahan dan hutan di suatu wilayah, khususnya di tingkat tapak. Bila memahami hal ini, pendekatan mata pencaharian berkelanjutan berbasis DAS dapat diterapkan dari hulu ke hilir.

Saparis menjelaskan, upaya kebijakan yang telah dilakukan pemerintah sampai saat ini adalah mendorong agar program-program DAS dapat diadopsi ke dalam program tata ruang. Misalnya melalui ‘nuansa’ DAS pada Pasal 7 Permen Agraria dan Tata Ruang (ATR) tahun 2018 yang menyebut tentang pengolahan dan analisis data fisik wilayah, social kependudukan, ekonomi wilayah, sebaran ketersedian dan kebutuhan sarana dan prasarana, penguasaan tanah, lingkungan hidup, maupun pengurangan risiko bencana. Selain itu, kerja sama antara Ditjen PDASHL dan Ditjen Tata Ruang misalnya, juga telah mengupayakan tercakupnya pengelolaan DAS di dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) agar terdokumentasikan dan dapat menjadi referensi bagi multi pihak. “RTRW menjadi dokumen dalam penyusunan pusrenbang, RKP (Rencana Kegiatan Pembangunan) dan sebagainya, sehingga multi-pihak bisa didorong untuk terlibat di sana. Kita tidak mengubah, tetapi memberi warna,” katanya.

Tak hanya itu, Ditjen PDASHL telah mendorong pula KLHS bernuansa DAS, meski sayangnya tindak lanjut rencana terkait hal tersebut kini tertunda karena adanya pergantian staf dan covid-19. Ditjen PDASHL juga telah menandatangani MoU dengan Ditjen Pengembangan Kawasan Kemendes pada 2019 untuk mendorong upaya-upaya penanaman di luar kawasan hutan. Saparis mengingatkan, agar apapun program yang dilaksanakan, baik itu program penanganan lahan kritis, program penanganan banjir, atau tanah longsor, kelembagaan masyarakat memperoleh perhatian didalam penerapan program besar rehabilitasi.

Selain tidak terjebak oleh aneka mitos dan melakukan terobosan-terobosan atas kelemahan kelembagaan, menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan dan LIngkungan IPB, Hariadi Kartodihardjo, juga penting untuk memahami persoalan-persoalan pengelolaan DAS khususnya dari sisi kelembagaan. Sebagai struktur insentif yang dapat menentukan perilaku, transformasi kelembagaan diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. “Jangan sampai (lembaga) hanya melaksanakan kegiatan tanpa mengukur outcomes,” kata Hariadi yang dalam webinar kali ini membawakan materi seputar transformasi kelembagaan dalam pengelolaan DAS.

Hariadi mencontohkan kelembagaan yang mengelola DAS Sungai Rhine di Eropa yang mampu melibatkan kerja sama 7 negara, sementara 3 kabupaten di Indonesia saja mungkin bekerja sendiri-sendiri dalam mengelola DAS yang sama. Menurutnya, hal itu dapat terjadi karena kelembagaannya berbeda. Yang satu memiliki tingkatan partisipasi dan koordinasi kelembagaan yang sangat tinggi, begitu pula sebaliknya. Untuk itu diperlukan tujuan bersama yang ingin dicapai, supaya ada strategi menyeluruh yang dapat menciptakan sistem terpadu yang dapat menghasilkan outcome bersama. Ibarat tim sepak bola, seluruh pemain harus bekerja sama untuk memenangkan pertandingan; ini berbeda dengan lomba lari di mana setiap atlit hanya perlu berlari sendiri-sendiri untuk mencapai garis finish. Kelembagaan yang kuat seperti di Sungai Rhine bahkan bekerja sama hingga melakukan penyesuaian pada fungsi dan tugas organisasi. “Proses ini yang belum terjadi di Indonesia karena ketika melakukan tugas menanam misalnya, hanya itulah yang bisa dilakukan. Kalau melakukan dengan inovasi malah nanti salah,” kata Hariadi.

Belajar dari Sungai Rhine, menurutnya, hal terpenting dalam sebuah kelembagaan adalah akuntabilitas mengukur pekerjaan. Contoh, di dalam pengelolaan DAS Kapuas, di Kalimantan Barat, misalnya, di situ ada Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Landak, hingga Kota Pontianak yang penting sebetulnya adalah setiap wilayah administrasi dengan kewenangan khusus masing-masing, harus memiliki ukuran kinerja yang jelas. Pemasangan alat-alat teknis dilakukan di setiap wilayah untuk memantau debit air atau memonitor terjadinya pencemaran. Namun bila terjadi pelanggaran, misalnya menyebabkan pencemaran, yang dilakukan bukan memberikan hukuman, melainkan meningkatkan kapasitas. “Kekurangan lembaga diteliti bersama, kemudian diperbaiki dengan meningkatkan kapasitas,” katanya.

Perbaikan kelembagaan juga memerlukan sejumlah inovasi seperti perbaikan key performance indicators (KPI) menuju output/outcome bersama, menerapkan single salary system sehingga tidak berbasis pada kegiatan, menerapkan multi-year budget dan integrasi sistem informasi melalui teknologi yang lebih maju. “Zaman sekarang tidak mungkin mengintegrasikan sistem ini secara manual,” kata Hariadi. Ia melihat inipun telah diterapkan di negara-negara lain seperti Cina dan Thailand, di mana sistem pengawasan sudah menggunakan aplikasi teknologi yang melibatkan partisipasi masyarakat dan laporan masyarakat berperan di dalam pengendalian, cross-check dan peringatan ketika terjadi pelanggaran.

Materi presentasi bisa di download disini 

Simak bahasan lebih mendalam dari para pemateri melalui video berikut: