Saat mempromosikan lanskap cerdas-iklim, dengarkan dulu suara petani

Saat mempromosikan lanskap cerdas-iklim, dengarkan dulu suara petani

Indonesia - 01 October, 2021

Petani di daerah-daerah miskin di dunia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Komunitas internasional diharapkan meningkatkan upaya untuk membantu mereka beradaptasi dengan keadaan ini. TBI menekankan bahwa intervensi yang diberikan perlu dirancang berdasarkan pemahaman mendalam tentang persepsi dan kebutuhan lokal.

Pada 31 Oktober hingga 12 November 2021, para pemimpin dari 196 negara bertemu di Glasgow untuk Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang juga dikenal sebagai COP26. Kebutuhan untuk segera bertindak terlihat jelas melalui acara ini, seperti yang ditekankan dalam laporan terbaru Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Negara-negara mengakui perlunya meningkatkan komitmen secara luas untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Selain pengurangan emisi, COP26 juga digunakan untuk membahas cara membantu negara-negara beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan. Negara-negara di Dunia Selatan menjadi pusat perhatian dalam diskusi ini, karena penduduk mereka sangat rentan terhadap tekanan dan gangguan terkait iklim, seperti kekeringan dan banjir. Dalam sebuah pernyataan bersama, lebih dari 100 negara berkembang menuntut agar setidaknya 50% dari pendanaan iklim digunakan untuk membantu mereka yang paling rentan untuk beradaptasi dengan dampak pemanasan global.

Dukungan terhadap mitigasi dan adaptasi di lanskap

Meningkatnya inisiatif yang digerakkan oleh LSM bertujuan untuk menggabungkan tujuan mitigasi dan adaptasi, dengan mengelola pohon dan hutan secara lebih baik di lanskap cerdas-iklim. Ini biasanya menyiratkan dukungan untuk agroforestri, restorasi dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pengelolaan lanskap cerdas iklim meningkatkan penyerapan karbon, sekaligus mengurangi kerentanan masyarakat, karena hutan dan agroforestri lebih resisten terhadap dampak perubahan iklim dibanding pertanian. Selain itu, mereka menyediakan jasa lingkungan yang sangat penting untuk mempertahankan produksi pertanian jangka panjang dalam menghadapi perubahan iklim, seperti mengurangi erosi tanah dan mengatur siklus air dan suhu lokal.

Namun, inisiatif lanskap cerdas-iklim tersebut tampaknya tidak akan berhasil jika tidak memperhitungkan perspektif lokal dan kebutuhan jangka pendek. Mengembangkan program yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam tentang strategi adaptasi masyarakat saat ini dan bagaimana strategi tersebut dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang perubahan iklim dan kerentanan. Oleh karena itu, Tropenbos Indonesia dan Tropenbos Ghana mengembangkan dan menerapkan pendekatan untuk menilai persepsi lokal terkait dengan penyebab stres, adaptasi, dan kerentanan iklim. Hasilnya digunakan untuk menginformasikan inisiatif yang sedang berlangsung di lanskap Ketapang Indonesia, dan di lanskap Sefwi-Wiawso, Juabeso, dan Bia di Ghana.

Land clearing in Mekar Raya Village, ketapang, Indonesia_by Irpan.JPG

Gambar: Perubahan plot budidaya di Desa Mekar Raya, Ketapang, Indonesia

Persepsi lokal

Penilaian dari Indonesia mengungkapkan adanya perbedaan persepsi antara tujuan inisiatif lanskap yang sedang berlangsung di satu sisi, dengan persepsi umum petani di sisi lain. Inisiatif lanskap bertujuan untuk mengurangi ketergantungan petani pada budidaya kelapa sawit monokultur, karena dianggap meningkatkan kerentanan masyarakat dalam jangka panjang, misalnya melalui pengeringan lahan gambut dan meningkatkan risiko kebakaran. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa kelapa sawit sangat rentan terhadap kerugian produksi ketika menghadapi kekeringan berkepanjangan. Namun, di tingkat masyarakat, kesadaran akan risiko ini sangat minim. Faktanya, banyak petani menganggap kelapa sawit kurang rentan terhadap perubahan iklim dibandingkan kebanyakan tanaman lainnya, dan karenanya menganggap budidaya kelapa sawit sebagai strategi adaptasi yang penting.

Penilaian dari Ghana mendapati bahwa petani secara aktif mengambil langkah-langkah adaptasi, seperti integrasi pohon di perkebunan cokelat dan diversifikasi tanaman. Namun, petani menegaskan bahwa mereka masih menghadapi banyak hambatan untuk melakukan pengembangan lebih lanjut dari strategi adaptasi tersebut, sebagian besar karena kurangnya akses ke modal keuangan dan dukungan pemerintah. Temuan ini menekankan bahwa program LSM untuk mendukung adaptasi seharusnya dibangun di atas upaya berkelanjutan, seperti yang dikembangkan oleh petani itu sendiri, dan harus fokus pada menghilangkan hambatan, seraya meningkatkan insentif.

Baik di Indonesia maupun Ghana, penilaian tersebut menggarisbawahi bahwa petani menganggap kerentanan mereka sebagai akibat dari ancaman iklim dan non-iklim (dan kualitas tanggapan terhadap ancaman-ancaman tersebut). Jadi, tindakan adaptasi sering diinformasikan oleh kombinasi perubahan yang luas, dan ada kebutuhan untuk mengenali dan memahami interaksi antara berbagai pemicu stres yang berasal dari iklim maupun non-iklim.

Komunikasi dua arah

Saat mempromosikan adaptasi di lanskap cerdas-iklim, organisasi yang mengintervensi perlu menyadari cara petani memahami kerentanan mereka sendiri, dan apa yang sudah mereka lakukan dalam merespon perubahan yang terjadi. Ini akan membantu untuk memahami perbedaan persepsi diantara berbagai aktor, dan kemungkinan trade-off nya. Ini juga akan membantu untuk mengungkap kesenjangan pengetahuan mengenai hasil jangka panjang dari strategi adaptasi jangka pendek. Oleh karena itu, ada kebutuhan akan komunikasi dua arah, dimana para praktisi mendengarkan apa yang dikatakan para petani, dan juga secara aktif berbagi pengetahuan dengan mereka. Hanya dengan demikian intervensi akan selaras dengan prioritas lokal, sembari secara efektif mengatasi kesenjangan dalam pengetahuan dan pemahaman yang mungkin ada. (Koen Kusters)