Studi inklusivitas gender menuju praktik cerdas iklim

Studi inklusivitas gender menuju praktik cerdas iklim

Indonesia - 30 October, 2023

Pilih mana antara benih karet atau kelapa sawit? Atau antara buah-buahan dan kelapa sawit? Lalu kalau pililhan suami berbeda dengan pilihan istri, pilihan siapa yang akan diambil? Itulah diantara sejumlah pertanyaan yang diajukan Elok Ponco Mulyoutami, gender specialist Tropenbos Indonesia (TI) yang melakukan studi terkait inklusivitas gender menuju praktik cerdas iklim yang dilaksanakan di lanskap kerja TI pada 18-26 Agustus 2023 lalu. Studi ini melibatkan sekitar 80 responden dari sejumlah desa di sub-lanskap Pawan Pesaguan dan sub-lanskap Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat.

Melalui serangkaian diskusi kelompok terpimpin (FGD) yang dilaksanakan di empat cluster, yaitu dua cluster di Kecamatan Matan Hilir Selatan, dan dua cluster di Kecamatan Simpang Dua, Elok menggali pembelajaran yang diperoleh dari keterlibatan perempuan di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk melalui beragam kegiatan yang sudah dilakukan Tropenbos Indonesia di bawah payung program Working Landscape (WL). Studi ini diniatkan untuk menggali sejauh mana perempuan dan pemuda dapat mempengaruhi keputusan di dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, bagaimana keterlibatan mereka dalam proses multi-pihak yang berlangsung, dan bagaimana kebijakan yang ada memberikan dukungan terhadap hal ini. Jumlah peserta perempuan dan laki-laki di dalam FGD dibuat berimbang agar perspektif laki-laki dan perempuan terwakili secara berimbang pula.

Hasil FGD menunjukkan, meski perempuan telah terlibat dalam aneka kegiatan pengelolaan sumber daya alam di desanya, sejumlah tantangan masih mereka hadapi. Kultur budaya masyarakat yang patriarkal membuat banyak perempuan menjadi pihak yang lebih pasif. Alih-alih menjadi pemimpin, menyuarakan pendapat saja perempuan masih sering kurang didengar, di beberapa tempat bahkan untuk bersuara pun mereka belum mendapat kesempatan. Ini terutama ditemui di dalam masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat istiadat yang menempatkan posisi laki-laki lebih banyak sebagai pengambil keputusan.

Studi inklusifitas gender (2).jpg

Namun demikian, sejumlah desa tampaknya telah memberikan ruang yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan, seperti yang terlihat dari FGD di cluster 2 Sungai Bakau, sebuah desa yang belum banyak mendapat pendampingan dari lembaga lain di luar lembaga pemerintah, perempuan terlibat dan berperan aktif di dalam pemerintahan desa. Warga desa bahkan mendorong perempuan untuk menjadi kepala dusun (kadus), dan maju sebagai perwakilan desa dalam pertemuan-pertemuan antar desa dan di tingkat kabupaten. Keterwakilan perempuan juga tampak dalam kegiatan terkait peningkatan mata pencaharian, di mana perempuan aktif mencari peluang untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga.

Terkait pemantauan hutan dan lahan, banyak perempuan masih belum terlibat di dalam kegiatan yang dianggap masih merupakan domain laki-laki, seperti misalnya patroli kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Selain dianggap berisiko tinggi, para perempuan sepertinya juga terlihat kurang berminat. Namun, di Sungai Besar, sudah ada perempuan yang ikut terlibat di dalam kegiatan patroli pencegahan kebakaran hutan, dan bahkan menjadi anggota tim patroli yang aktif.

Secara umum, kesadaran untuk ‘mengizinkan’ perempuan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di luar rumah sudah mulai terlihat pada para laki-laki. Hal ini menjadi penting, karena ketika berhadapan dengan perbedaan pandangan, banyak perempuan masih memilih mengikuti pendapat laki-laki. Sehingga dorongan laki-laki terhadap kesediaan perempuan untuk ikut maju juga berperan besar.

Studi inklusifitas gender (5).jpg

Sementara itu, di cluster 4 di Simpang Dua, yaitu Desa Gema dan Mekar Raya, sejumlah program yang menyentuh desa-desa ini juga telah melibatkan perempuan, seperti program air bersih, program pembangunan fisik dan pendampingan penyusunan RPJMDes, pemetaan wilayah, dan reboisasi hutan lindung. Adanya program Simpan Pinjam Perempuan dari PNPM yang pernah ada, juga sangat dirasakan manfaatnya dalam membantu menggulirkan usaha yang dikelola perempuan, meski sayangnya sekarang program ini sudah tidak ada lagi.

Banyak perempuan di Desa Gema dan Mekar Raya, contohnya, adalah ibu rumah tangga dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka mengandalkan pendapatan suami, meski tetap membantu menoreh karet di kebun karet mereka. Peran perempuan dan keinginan untuk mandiri diakui lebih meningkat setelah adanya dorongan penguatan kapasitas perempuan oleh TI. “Setelah ada Tropenbos Indonesia, ibu-ibu ini mulai semangat bercocok tanam, di bidang hortikultura, di bidang kopi, di bidang buah-buahan, luar biasa,” kata Atep, seorang petani di Desa Mekar Raya. Pasca pelatihan penerapan praktik pertanian yang baik melalui sekolah lapang, kebun Atep termasuk paling banyak disinggahi untuk diskusi pengembangan kapasitas terkait penanaman.

Selain di tingkat desa, FGD juga dilakukan bersama para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten, yang dihadiri oleh sejumlah lembaga pemerintah dan KPH. Menurut salah seorang peserta dari Dinas Pertanian, saat ini sudah tidak ada lagi pembedaan jenis pekerjaan berdasarkan gender. Pada 2015 pernah diterapkan aturan di mana anggota kelompok wanita tani harus perempuan, tetapi sekarang, tidak ada lagi pembedaan antara perempuan dan laki-laki. “Perubahan ini memang dari pusat, jadi kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi perubahan ini. Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) nya ditentukan dari pusat. Tidak ada ruang untuk memberikan masukan dari daerah,” kata seorang peserta.

Studi inklusifitas gender (3).jpg

Sementara itu, KPH di tingkat lapangan tidak mengangkat topik kesetaraan gender dalam struktur dan proses organisasi, namun kebijakan gender di tingkat nasional sudah ada di KLHK. Berbagai kebijakan terkait gender juga telah dimiliki oleh Bappeda, namun belum ada tim khusus yang kemudian mengimplementasikannya di lapangan.

Menurut Donatus Rantan, selaku ketua forum para pihak di Ketapang, pemahaman tentang gender harus masuk dalam kebijakan, dalam anggaran, dalam pembuktian bahwa gender ini masuk dalam kegiatan. “Jangan sampai anggaran untuk gender dimanfaatkan untuk kepentingan di luar gender. Pengarus utamaan gender sudah selalu ada, tetapi tanpa payung hukum yang kuat, akan sulit untuk mendorong pelaksanaannya. Untuk itu, semoga ada payung hukum yang kuat terkait gender ini,” katanya.

Studi inklusifitas gender (4).jpg

Implementasi yang minim tampaknya memang masih terjadi di tingkat kabupaten meski kebijakan dan strategi terkait gender dari provinsi sebetulnya sudah ada. Kebijakan kesetaraan gender yang menjadi bahan diskusi baru pada tataran kesetaraan gender dalam masalah staf di institusi. Selain tingkat pemahaman yang masih kurang, hampir semua institusi belum memiliki unit dan organisasi yang mempromosikan kesetaraan gender, meski beberapa institusi telah memiliki program yang memberikan perhatian khusus untuk perempuan seperti Dinas Sosial dan Distanakbun.

**