Youth camp di Palu, ajang menempa kapasitas kaum muda Asia

Youth camp di Palu, ajang menempa kapasitas kaum muda Asia

Indonesia - 30 July, 2024

Sekitar 50 pemuda dari berbagai lanskap di Asia, seperti dari Filipina, Vietnam, Malaysia, Myanmar, Kamboja, dan Indonesia berkumpul di Palu, Sulawesi Tengah, untuk mengikuti youth camp bertajuk "Youth Engagement and Empowerment Hive in Asia" (YEEHA) pada 17 – 23 Juli 2024. Acara tahunan ke-3 yang diselenggarakan secara rutin oleh NTFP Asia ini, untuk tahun ini diselenggarakan bersama dengan Tropenbos International (TBI). Delapan pemuda yang mewakili lanskap-lanskap Tropenbos di Asia berpartisipasi dalam youth camp ini – 3 orang dari Forest Foundation Filipina, 2 dari Tropenbos VietNam, dan 3 dari Tropenbos Indonesia. TBI mendukung acara ini dalam kerangka proyek kepemimpinan kaum muda "Youth it Lose it" yang telah dilaksanakan di Amazon, Afrika dan kini direplikasi di Asia.

Pemberdayaan kaum muda sangatlah penting untuk mendorong munculnya pemikiran-pemikiran kreatif dan untuk memastikan bahwa mereka memiliki kapasitas dalam pengambilan keputusan dan menemukan solusi lokal untuk mengatasi berbagai masalah, khususnya yang terjadi di lanskap mereka. Dengan ide, inovasi, dan solusi yang seringkali “out of the box”, masalah yang sedang berlangsung atau kelak mungkin muncul dapat ditangani dengan cara-cara kreatif yang bisa saja tak terpikirkan oleh generasi terdahulu. Untuk itu, memberdayakan pemuda berarti memberdayakan pemimpin masa depan yang akan memimpin aksi-aksi kreatif untuk mengatasi berbagai masalah yang saat ini tengah berlangsung atau bisa saja muncul di masa depan.

DSC01489.JPG

DSC01758.JPG

Selama YEEHA, anak-anak muda ini belajar tentang banyak hal dan mengasah keahlian dalam mengidentifikasi isu-isu permasalahan maupun mencari solusinya melalui game, gambar, diskusi, maupun presentasi. Berbagai materi yang diberikan selama youth camp ini antara lain tentang ekosistem hutan, tata kelola hutan, tata kelola hutan secara inklusif melalui Feminist Participatory Action Research (FPAR), Kawasan Konservasi Masyarakat Adat (ICCA), perubahan iklim, dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (UNDRIP). Ada pula sesi Malam Budaya, dimana para peserta saling mengenal lebih jauh melalui pertunjukan seni dan tarian tradisional mereka. Sesi-sesi di dalam ruangan ini juga dilengkapi dengan kunjungan lapangan ke Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, di mana mereka mendapat kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan alam dan mempelajari tentang kehidupan masyarakat adat Kulawi di Mataue.

DSC01712.JPG

Pada hari kedua kunjungan, para peserta melakukan trekking keliling desa, melintasi sawah, melewati puing-puing rumah besar "Pasanggerahan” Kulawi yang kini masih belum direnovasi setelah dilanda gempa besar pada 2018, menyeberangi sungai jernih berarus deras dan berbatu-batu, dan berhenti di beberapa titik perhentian untuk berdiskusi. Terkait topik tentang gender, misalnya, Desa Mataue memiliki sistem pengelolaan tanah tradisional Kulawi di mana perempuan memiliki wewenang khusus atas sebidang tanah yang disebut “Pampa”, yaitu zona lahan budidaya masyarakat adat Kulawi di mana mereka menanam berbagai sayuran dan bahkan tanaman keras seperti kopi atau cokelat. Setiap rumah tangga biasanya memiliki Pampa sendiri yang dapat menyediakan hampir semua kebutuhan sehari-hari mereka.

Di titik perhentian lain, para peserta belajar dan berlatih mengoperasikan drone untuk pemetaan hutan, dan berdiskusi tentang budidaya rotan untuk melestarikan rotan sebagai bahan baku pembuatan anyaman. Selesai trekking, mereka melihat proses pembuatan kain dari kulit pohon yang dilakukan oleh seorang wanita di Mataue. Tradisi mengenakan pakaian yang terbuat dari kain kulit pohon ini masih dilestarikan dan masyarakat memakainya dalam berbagai kesempatan seperti upacara pernikahan dan acara-acara adat lainnya.

DSC02558.JPG

DSC02608.JPG

Setelah berada di desa selama hampir tiga hari dan tinggal di rumah-rumah penduduk Mataue, banyak peserta yang menjadi semakin akrab dengan warga desa. Mereka bisa merasakan sambutan hangat dan keterbukaan warga dalam menerima kehadiran mereka. Di tengah kesederhanaan rumah dan cara hidup mereka, fasilitas umum yang terbatas, pemandangan indah lanskap yang menyembunyikan kerentanan terhadap ancaman tanah longsor dan gempa bumi, warga desa Mataue tetap hidup dalam kesatuan dan keselarasan dengan alam dan lingkungannya.

Setelah kembali ke Palu usai berkunjung ke desa, para peserta melewatkan satu hari lagi untuk melakukan sharing dan refleksi. Mereka juga membagikan pengalaman mereka dari lanskap masing-masing, dan rencana-rencana yang mereka miliki pasca mengikuti youth camp. Untuk terus mempromosikan pendidikan bagi pemuda adat, meningkatkan kapasitas bagi pemuda lain agar lebih berani bersuara, memanfaatkan media sosial secara lebih aktif, terlibat dalam usaha-usaha kecil untuk meningkatan perekonomian dan kemandirian, memulai kegiatan penanaman pohon, dan masih banyak lagi yang ada di dalam daftar.

DSC02892.JPG


Beragam aksi yang dipimpin oleh kaum muda mungkin memiliki tantangan yang berbeda-beda pula, dan konteks yang berbeda membuat rencana mereka pun kaya akan keragaman. Namun, mereka memiliki aspirasi yang sama, yaitu untuk mendorong agar agenda kaum muda terus dikedepankan tak hanya di tingkat lanskap, namun secara kolektif juga di tingkat nasional, di tingkat regional, dan bahkan di tingkat internasional.

**